Pertama, umat Islam yang benar pemahaman Islamnya tidak mungkin melakukan teror, sehingga jangan pernah ada lagi pihak-pihak tertentu yang mengaitkan teroris dengan agama Islam. Teror hanya aksi kriminal yang dilakukan oleh pribadi ataupun oknum tertentu.
Di masyarakat modern sekarang ini, jaringan kelompok antagonis lebih kuat dibandingkan jaringan protagonis. Itu akibat kurangnya komunikasi antara pemerintah dan ulama dalam menyebarkan program-program pencegahan terorisme. Apa yang dilakukan BNPT ini, bisa menggandeng eks napiter dan kombatan menjadi partner dalam pencegahan radikalisme dan juga terorisme.
Kedua, persatuan dan kebhinnekaan penting terus dipelihara dan diperkuat untuk menciptakan kedamaian dalam lingkup NKRI yang penuh persaudaraan atau semangat persatuan melalui dialog yang berkesinambungan. Salah satu contoh Islam menyuruh umatnya berdakwah secara hikmat dan memberi nasihat dengan cara yang baik dan lembut. Bahkan untuk setiap masalah yang terjadi, Islam menyarankan dilakukan dialog tanpa menyakiti.
Ketiga, memang ketika napi teroris di dalam penjara, BNPT sering rutin melakukan pendampingan dan pembinaan. Alangkah bagusnya jika hal ini berlanjut ketika mereka keluar penjara, tidak hanya mengadakan pertemuan tiga bulan sekali atau setahun sekali sehingga tidak terkesan seperti ajang kumpul-kumpul biasa.
Keempat, dialog 100 mantan teroris dengan pimpinan BNPT menunjukkan bahwa deradikalisasi berhasil menyasar dua faktor, pertama mencegah tersangka atau mantan napiter kembali lagi menjadi teroris, dan mencegah perekrutan generasi jaringan teroris. Ini dibuktikan sikap kebersamaan para mantan napiter dalam mengikuti acara silaturahmi bersama pimpinan BNPT.
Kelima, ke depan, efektivitas program deradikalisasi oleh pemerintah seperti mendatangkan ulama atau ustadz ke dalam penjara narapidana teroris sudah bisa diganti oleh "dai kombatan" itu sendiri yang notabene berasal dari lingkaran yang sama. Dengan demikian mantan teroris ini berfungsi juga merangkul kawan-kawannya untuk ikut terlibat sebagai pembina program deradikalisasi dan proaktif melawan penyebaran paham radikal di lingkungan masyarakat.
Keenam, melalui silaturahmi nasional yang melibatkan 100 mantan teroris, pembuat kebijakan dan penegak hukum harus sadar bahwa penggunaan kekerasan berlebihan hanya akan membuat teroris tambah subur, akan tetapi mendiamkannya pun berpotensi melahirkan pelaku baru.
Kecurigaan berlebihan terhadap kelompok-kelompok yang dipandang umum terafiliasi dengan kelompok teroris juga berbahaya. Misalkan, kita gampang menaruh curiga kepada orang-orang yang memakai burka, berjanggut lebat, celana cingkrang, atau pengajian Salafi. Nah, efek silaturahmi ini bisa menghilangkan kesan angker tersebut karena 100 mantan teroris itu hadir lengkap dengan atribut-atribut yang selama ini dikesankan sebagai warna-warna teroris.
Ketujuh, silaturahmi nasional itu juga mengindikasikan, napi teroris sekeluar dari penjara tidak lagi kembali ke kelompok asalnya. Tidak pula membuat sel teroris baru yang lebih kejam atau berbeda sama sekali dari kelompok sebelumnya.
Kedelapan, ide fenomenal Suhardi Alius selaku kepada BNPT menunjukkan dia memahami akar masalah terorisme. Setiap pendekatan yang digunakan bisa berbeda, tapi konsep deradikalisasi semestinya sama: mengubah manusia yang memilih jalan kekerasan untuk berbalik (kembali) menjadi pendukung kebaikan dan bersikap damai.
Khairul Ghazali als Abu Yasin