[caption id="attachment_89589" align="alignleft" width="280" caption="http://opinikampus.wordpress.com"][/caption] Hiruk pikuk persidangan pansus Bank Century dan berbagai peristiwa yang mengiringinya usai sudah. Banyak yang mengatakan bahwa ending dari pansus Bank Century, khususnya kesimpulan dan tindak lanjutnya, terasa hambar. Karena tidak ada langkah kongkret setelahnya mengingat rekomendasi pansus sifatnya politis. Aspek hukumnya tetap akan dilakukan oleh KPK yang nyatanya sudah memproses sebelum persidangan pansus usai. Bila dibawa ke MK pun jalan yang ditempuh masih panjang. Diantaranya mensyaratkan persetujuan 2/3 dari anggota DPR. Dan ini akan sulit karena anggota DPR dari Partai Demokrat pun sudah lebih dari ¼ anggota dewan. Bila anggota dewan dari PD tidak setuju, mau apa? Bila dirunut kembali ke latar belakang dibentuknya pansus, tidak lain untuk membuktikan bahwa kebijakan bailout Bank Century telah sesuai aturan atau tidak dan men-trace aliran dananya apakah bermuara ke partai dan kandidat presiden saat itu atau tidak. Meski hasil pansus menyatakan bahwa proses pengambilan kebijakan bailout salah, tetapi tidak dapat dibuktikan aliran dananya ke mana. Bagi banyak orang, kesimpulan yang menyalahkan proses pengambilan keputusan dalam pemberian bailout BC, masih debatable. Diantara sebabnya, para pengambil keputusan adalah orang yang bertanggung jawab dalam moneter dan fiskal saat itu sehingga mereka yang paling tahu keadaan perekonomian yang sedang diterpa krisis (hal ini juga diamini oleh para pelaku pasar dan praktisi perbankan). Kedua, tidak ada kebenaran dan kesalahan yang ditentukan melalui voting. Tidak dapat dibayangkan bila untuk menilai suatu kebijakan dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak. Lucunya, ada anggota dewan yang dielu-elukan dan disebut pahlawan karena berani berseberangan dengan kebijakan partainya. Proses voting untuk menentukan benar dan salah atas kebijakan jelas menjadi preseden yang buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan. Pada akhirnya para pejabat tidak mau mengambil kebijakan apa-apa bila nantinya diperkarakan. Jadi, yang bisa ditangkap dari pemunculan isu penyelewengan bailout BC hingga terbentuknya pansus sebenarnya adalah permainan aneka kepentingan masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya. Kepentingan pertama, ada ketidakpuasan dari pihak yang kalah dalam pilpres yang lalu sehingga berupaya melakukan delegitimasi & destabilisasi pemerintahan sehingga pemerintah tidak sempat bekerja untuk merealisasikan janji-janji dalam kampanyenya karena tersita waktunya untuk menangani berbagai isu (diantaranya isu BC), yang pada akhirnya masyarakat menilai pemerintah telah gagal. Kedua, ada pihak-pihak yang tidak puas karena tidak duduk di pemerintahan. Karena itu mereka mendukung setiap upaya untuk menggoyang pemerintah. Ketiga, pemunculan isu bailout BC untuk menaikkan posisi tawar partai dan tokoh-tokohnya di hadapan presiden selaku pemilik hak prerogratif dalam menentukan para pembantunya. Dengan cara ini diharapkan presiden mau memberikan porsi yang lebih ke partai yang gigih mempermasalahkan bailout BC. Keempat, isu bailout BC hanyalah untuk mengalihkan borok dari partai dan tokoh-tokohnya. Hampir semua partai dan tokoh di dalamnya yang mendukung angket BC memiliki track record yang buruk. Mulai dari pengemplangan pajak yang mencapai triliunan rupiah, terbelit LC bermasalah, pelaku pelanggaran HAM, diduga terlibat dalam pembunuhan Munir, dan lainnya. Begitu rapi mereka dalam menyembunyikan kepentingannya sehingga banyak anggota masyarakat yang terjebak dalam drama ini. Masyarakat, termasuk elemen mahasiswa, menjadi ikut-ikutan dan terbawa skenario para pemilik kepentingan. Mereka sampai berpeluh melakukan demo yang terkadang tidak tahu substansi apa yang didemo. Sebagai tulisan pembanding, berikut saya nukilkan komentar dari seorang investor asing yang diwawancara Reuters (sumbernya di sini), Untuk diketahui saja, Reuters sebelumnya melihat bahwa kasus Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Reuters menilai bahwa Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Pajak dan Direktorat Bea Cukai yang berada di bawah kementerian yang dia pimpin. Menurut Reuters, dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia yang lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi. "Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, yang akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka yang bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya," ungkap investor yang enggan disebut namanya ini. Sekali lagi, semoga kita tidak terjebak pada permainan pihak-pihak yang di kepalanya hanya menginginkan kekuasaan belaka dengan cara-cara yang tidak elegan! Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H