Mohon tunggu...
Jong Celebes
Jong Celebes Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar

"Tidak ada kedamaian tanpa Keadilan"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani atau Jadi Karyawan Perbankan?

8 September 2017   19:45 Diperbarui: 8 September 2017   20:15 2186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi Biro Pers Setpres

Saya salah satu alumni IPB angkatan 34 tahun 1997. Sebelumnya, saya ingin sedikit bercerita 'takdir' yang membawa saya masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ceritanya, akhir-akhir kelulusan SMA di salah satu Sekolah negeri nun jauh di Selatan Kota Makassar Sulawesi, pihak sekolah menginformasikan dibukanya jalur Penulusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) atau seleksi jalur undangan yang diperuntukkan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi bidang Vokasi atau Politeknik di seluruh Indonesia.

Bagi yang berminat boleh ikut seleksi. Saya mencoba peruntungan itu.  Dari berbagai perguruan tinggi bonafide di Pulau Jawa saya memilih 3 yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Saya mengirim aplikasi ke 3 universitas tersebut. Pilihan pertama jatuh pada ITB, kedua UI dan terakhir IPB. Informasi kelulusan tak kunjung datang, akhirnya saya memutuskan mendaftar ke salah satu Sekolah Pelayaran ternama di Makassar. 

Setelah psikotest dan tes fisik, alhamdulillah saya dinyatakan lulus. Senang pastinya, pikiran saya pun melayang jauh ke masa depan membayangkan kalau saya akan berlayar berhari-hari di tengah laut. Sedikit khawatir tapi kekhawatiran itu sirna ketika melihat saudara-saudara dan kawan yang banyak sukses di situ.

Tidak berapa lama kemudian, informasi datang dari pihak sekolah yang memberitahukan kalau saya diterima di IPB, perasaan saya waktu itu antara galau bercampur senang, bagaimana tidak, saya dihadapkan pada pilihan yang sulit, memilih IPB atau Pelayaran, setelah berkonsultasi sana sini baik ke orang tua, saudara, teman, saya akhirnya memutuskan masuk IPB. Bye-bye Pelaut!

Tahun 1997 saya Terbang ke Jakarta ditemani salah satu kerabat yang sudah tinggal di Jakarta, saya pun memulai hidup baru sebagai mahasiswa perantauan di Bogor, Kota Hujan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya memilih jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, kenapa memilih ini sebenarnya karena ngitung kancing baju aja, gak ada target neko-neko, hehehe..... Singkat cerita, saya Alhamdulillah bisa lulus dari IPB dengan nilai sangat memuaskan. Perjuangan Gak berhenti  di situ, berikutnya adalah mau kemana setelah lulus, takdir membawa saya untuk hijrah ke Jakarta,  just let it flow, ngalir aja. Mungkin Jakarta lebih baik dari Bogor,pikir saya waktu itu.

Di Jakarta, saya menjadi Guru di sebuah Lembaga Pendidikan swasta di Jakarta. Setelah itu, keluar masuk perusahaan, termasuk salah satunya bekerja di salah satu perusahaan plat merah (BUMN), lalu bagaimana dengan ilmu pertaniannya? banyak yang bilang ko gak nyambung antara ilmu dan pekerjaannya sekarang, saya senyum-senyum saja menanggapinya. 

Oia, mengutip pernyataan Presiden Jokowi yang menjadi perbincangan jagat netizen yang disampaikannya saat hadir dalam Dies Natalis IPB ke-54 di Bogor beberapa hari yang lalu, "Maaf Pak Rektor tapi lulusan IPB banyak yang kerja di Bank , terus yang ingin jadi petani siapa?" katanya di kutip dari pemberitaan Media. Menurut saya, peryataan itu tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga karena banyak juga teman-teman IPB saya baik se-angkatan atupun tidak yang memilih pulang kampung untuk membangun pertanian di daerahnya masing-masing dan cukup sukses, tahunya darimana? Ya dari facebook mereka! So, kita harusnya juga bisa melihat sisi lain, alasan  kenapa banyak dari alumni lebih memilih menjadi pegawai perbankan atau di perusahaan bonafide dibanding bekerja di bidang pertanian.

Hemat saya, kenapa begitu? sebenarnya alasannya klasik, image petani di Indonesia masih rendah, alias gak keren kata  anak muda jaman sekarang, memang kenyataannya begitu. Coba tengok data Badan Pusat Statistik  (BPS) yang saya kutip dari Liputan6.com,  sesuai sensus pertanian 2013 disebutkan jumlah rumah tangga pertanian sebanyak 26, 14 juta. 

Sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. "pekerja di sektor pertanian banyak hidup di bawah garis, penduduk miskin memang banyak di sektor ini, Kata Kepada BPS, suryamin dikutip dari Liputan6.com (12 Agustus 2014). Kesejahteraan petani masih jauh panggang dari api. Celakanya, Pemerintah juga belum sepenuhnya berpihak kepada petani, buktinya bibit, pupuk dan pestisida di tingkat petani masih mahal. "Harga pupuk tiap tahun naik terus, bibit yang bagus mahal, yang biasa hasilnya kurang bagus, mau tidak mau butuh duit yang lebih banyak," Kata Ruslanni, Petani Asal Banyuasin Sumsel dikutip dari Merdeka.com (23/9/2016).

Ironisnya lagi, negara masih membuka kran impor berbagai komoditas pertanian cukup lebar, seperti beras, kedelai, daging, jagung, gula, garam. Kebijakan ini tentunya mempengaruhi langsung harga komoditi pertanian dalam negeri. Imbasnya, ya lagi-lagi petani, petani akan selalu menjadi miskin, sektor pertanian masih nomor dua di negeri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun