Keputusan Mahkamah Agung  (MA) yang  mengabulkan permohonan kasasi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, Syafruddin di dua pengadilan, yakni: Pengadilan Negeri Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta diputuskan terbukti melakukan tindak pidana dengan bukti-bukti kuat dipersidangan. Lantas mengapa MA berpendapat kasus Syafruddin hanya pelanggaran administrasi saja? .
Polemik di masyarakat yang diakibatkan  putusan MA  ini, harus menjadi pintu masuk KPK untuk melakukan pendalaman terhadap kasus mega korupsi BLBI. Sebab, seperti ada yang janggal dalam proses hukum penanganan kasus BLBI ini . Kejanggalan itu, terlihat setelah sekian tahun kasus itu digelar dipersidangan,  hanya segelitir orang saja yang diadii, sementara nama-nama lain seakan dibiarkan bebas begitu saja, setelah merampok uang Negara dengan jumlah nominal yang cukup fantastis.
Jumlah Uang Negara yang DirampokÂ
Berdasarkan catatan dari Kompas 2 Januari 2003 Jumlah utang Salim ke BPPN senilai Rp 52,626 trilyun dan BLBI yang diterima Rp 26,626 triliun. Untuk Sjamsul, utang Rp 28,408 triliun dan BLBI Rp 37 triliun. Sudwikatmono, utang Rp 1,886 triliun dan BLBI Rp 1,7 triliun. Â Sementara, Untuk Bob Hasan, utang Rp 5,440 triliun dan BLBI (sudah termasuk yang menjadi tanggung jawab Ongko Group) Rp 12,100 triliun, sedangkan Ibrahim Risjad, utang Rp 332 miliar dan BLBI tak disebutkan.
Utang Usman Rp 12,533 triliun dan BLBI yang diterima Rp 23,100 triliun. Utang Modern Group Rp 2,663 triliun dan BLBI Rp 2,200 triliun.Utang Ongko Rp 8,242 triliun dan BLBI Rp 12,100 triliun (bersama Bob Hasan). Untuk Hokindo, utang Rp 339 miliar dan BLBI Rp 200 miliar. Mereka-mereka ini adalah penanda tangan  perjanjian MRNIA .
Usman Admadjaja Melanggar Perjanian MRNIA?
Dalam catatan sejarah, Presiden Megawati Soekarnoputri telah  menerbitkan instruksi presiden (inpres) guna penanganan para obligor atau debitor yang telah memenuhi kewajiban Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam kasus BLBI. Inpres itu dilandasi beberapa alasan. Pertama, pemerintah dalam rangka melaksanakan Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Undang-Undang Propenas akan memberikan satu penegakan hukum kepada para pemegang saham yang tidak memenuhi kewajibannya. Kebijakan ini akan dikoordinasikan antara Kejaksaan Agung, Polri, dan BPPN.
Kedua, bagi obligor dan debitor yang kooperatif serta memenuhi kewajibannya, pemerintah akan memberikan surat jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukum (release and discharge/R&D).Ketiga, bagi obligor dan debitor yang kooperatif dan sedang dalam proses PKPS, diberikan waktu untuk menyelesaikan. Batas waktu penuntasan akan ditentukan KKSK.
Dari inpres ini muncul dua perjanjian, yakni: Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA/perjanjian pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI dengan jaminan aset), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA/perjanjian pengembalian BLBI dengan jaminan aset dan jaminan pribadi)
Usman Admadjaja (Bank Danamon) menjadi bagian kelompok yang menandatangani  Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA/perjanjian pengembalian BLBI dengan jaminan aset dan jaminan pribadi). Tapi hingga kini seluruh aset Usman belum diserahkan seluruhnya ke Negara, padahal yang bersangkutan masih memiliki hutang kepada Negara Rp 12,533 triliun.