Demokrasi itu ibarat Pizza. ini makanan asing yg harganya relatif mahal, meski demikian untuk perut orang indonesia ini hanya makanan "kecil" yg krg mengenyangkan. Salah2 kalo g cocok bisa diare yg makan.
Uniknya di Indonesia Demokrasi kita cenderung berkutat pada politik saja. Mulai dr Pemilu, Pilkada, Pilkades smp Pilkaret (pemilihan ketua RT). Namun krg berkembang dlm urusan ekonomi dan persaingan usaha.
Demokrasi kita berbiaya sgt mahal dan dirasa kurang efektif. bukan sekedar boros anggaran namun kerukunan masyarakat terganggu krn urusan pilih memilih ini. Tak terhitung jumlah korban yg berjatuhan. Jujur saja kondisi masyarakat kt tidak siap mengalami perubahan yg sgt drastis ini.
Demokrasi dijadikan ajang Kartel menitipkan benih u kepentingan korporasi kartel-kartel tsb. Karena kekuasaan dekat dgn korupsi dan kepentingan.
Hebatnya, Pemilu Legislatif kita mirip-mirip dgn pembukaan pendaftaran CPNS, semua berlomba2 daftar dan mencoba peruntungan. bahkan lbh gila karena sebagian besar bermodal nekad dan mirip anak-anak main lompat karet "tap jadi" kalo gagal ya sudah kalo menang ya bagus.
Bisa anda bayangkan DPR/D negara kita selama 5 tahun akan di isi oleh kartel, artis tanpa keahlian politik, pengusaha2, sisanya anggota lama yg sdh lumutan tak ganti-ganti. Produk hukum apa yg bs dihasilkan?
Atau Pilkada kt yg makin runyam. MK sibuk mengurus gugatan pilkada daripada mengurus JR UU yg kualitasnya kualitas karet. Anda bisa bayangkan kalau seorang Master Limbad mjd Bupati Tegal? Atau Arya Wiguna menjadi Bupati Kolaka? Alamak, apa yg terjadi pada daerah2 tsb? Atau bisa anda bayangkan negara kita diurus oleh seorang Farhat?
Kembali lagi ke Pizza, Roti Khas negeri menara Pisa, kalau memang kita lbh cocok makan pecel ayam ya makanlah dan buatlah negara kita mjd kuat dengan karakter bangsa ini.
Lihat negeri yg sdh ratusan tahun mengenyam demokrasi, USA yg mengaku menghargai HAM akan tetapi memata-matai seluruh warganya sendiri spt bocoran snowden baru-baru ini? Karena kebebasan yg tak beretika mengakibatkan kultur kita yg saling "tepo seliro" dan "tenggang rasa" mjd semakin terlihat primitif.
So, Solusinya apa?
Kita harus menghadirkan makanan khas negeri kita yg bermacam-macam ini. Sebuah sistem yg real dan tidak utopis. Mampu mengakomodir mayoritas penduduk kita. Demokrasi ala indonesia. Yg mengenal karakter bangsa kita dgn sgt baik.