Oleh Dr H.Abustan, SH.MH
Pengajar/Dosen Demokrasi dan HAM
Magister Ilmu Hukum S2 Pasca Sarjana Universitas Islam Jakarta (UID)
KENYATAAN empirik yang ada dilapangan terkait penegakan hak asasi manusia, acap kali  masih saja banyak hal yang membuat hati kita jadi miris dan prihatin. Meski disadari, tidak mudah menegakkan nilai - nilai hak asasi manusia khususnya di Indonesia karena masih rendahnya penguatan literasi hukum dan kemampuan pemerintah yang masih terbatas dalam penegakan nilai - nilai keadilan dan kesetaraan sebagai unsur penting demokrasi yang merupakan landasan penegakan hak asasi manusia.
Di samping itu, juga  faktor penegakan hukum itu sendiri. Walaupun, keberadaannya sangat diharapkan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang - Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak Hak Asasi Manusia, serta yang tercantum dalam Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, dalam praktek  kesetaraan penegakan hukum masih saja belum hadir di tengah masyarakat. Seperti prinsif equality before of law yang masih jauh dari kondisi sebenarnya.
Fakta itu, bisa disaksikan ketika pihak atau orang - orang yang menjadi korban mafia tanah berbondong - bondong mendatangi Kantor Mengkopolkam dan menemui langsung Mahfud MD serta melaporkan tentang berbagai Ikhwal tindakan para mafia tanah yang ditemani ahli hukum  Prof Indrayana dan budayawan Erros Djarot dan beberapa tokoh lainnya. Hal itu, tentu saja memberi sinyal dan / atau konfirmasi langsung kepada publik terkait adanya sikap "pesimisme" kepada institusi penegakan hukum.
Ketidakadilan hukum dan diskriminasi penegakan hukum yang terjadi, diperparah dengan penetapan tersangka Supardi Kendi Budiarjo yang juga Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (KMTI) Â dan isterinya (Nurlela) Â kemudian dilakukan penahanan. Padahal jauh sebelumnya Budiarjo melaporkan/mengadukan pihak yang mengklaim lokasi tanahnya ke pihak berwajib, tetapi justru tak digubris dan dihentikan. Sebaliknya, malah ia ditersangkakan / ditahan. Keduanya dijerat dalam Pasal 263 KUHP dan / atau Pasal 266 KUHP.
Itulah contoh ketidakadilan dan penegakan hukum yang tidak berdimensi HAM. Padahal, seharusnya aparat penegak hukum meletakkan setiap proses penyelesaian perkara yang berorentasikan pada perwujudan "keadilan substantif". Sehingga dapat menghilangkan citra buruk  institusi penegakan hukum sebagai lembaga yang "angker". Sebaliknya menampakkan wajah penegakan hukum yang humanis dalam penegakan hukum.
Apalagi negara Indonesia dalam perjalanannya, telah berproses menjadi negara hukum yang lebih demokratis dan semakin berkembang dengan peradaban hak asasi manusia yang lebih baik. Hal ini tampak dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang telah mengakomodir nilai - nilai hak asasi manusia.
Beruntunglah dalam situasi demikian, masih ada tokoh masyarakat, agamawan , dan budayawan yang mau care (peduli) terhadap pentingnya penegakan hukum yang berdimensi HAM.
Bagaimanapun, keadilan seharusnya menjadi titik pijak dalam setiap strata penegakan hukum (law enforcement). Keadilan menurut Aristoteles, dapat tercipta ketika kita mematuhi hukum, karena pada dasarnya hukum tercipta demi kebahagiaan masyarakat. Tak ada kebahagiaan masyarakat jika keadilan runtuh dan rontok sebagai dambaan kehidupan. Karena itu, Aristoteles menyebutkan orang yang tidak adil ialah orang yang mengambil lebih banyak bagiannya dari orang lain.
Jakarta, 26 Jan 2023
Ketua DPN AAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H