Mohon tunggu...
Dr. H. Abustan
Dr. H. Abustan Mohon Tunggu... Dosen - IT'S MY LIFE

If there is a Will there is a way

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Konsistensi Pemerintahan di Era Corona

3 April 2020   16:35 Diperbarui: 3 April 2020   16:42 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh DR H. Abustan, SH. MH
Pengajar Fakultas Hukum di Universitas Islam Jakarta (UID)

Penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang tidak termasuk "otonomi daerah" dan merupakan inti "pelayanan publik", tidak mungkin bisa dilaksanakan, jika tidak dilakukan melalui asas dekonsentrasi. Dalam kaitan ini, pelaksanaan asas dekonsentrasi harus dijalankan bersama-sama dengan asas desentralisasi dan/atau sentralisasi dalam sistem pemerintahan .

Pada titik inilah, Gubernur diberikan kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagai "Representatif" Presiden. Semua perangkat pemerintahan di daerah tunduk kepada komando Gubernur .

Kapasitas selaku Gubernur menjalankan dua fungsi utama sekaligus, yaitu "tugas-tugas pemerintahan umum" dan "tugas-tugas pembinaan dan pengendalian otonomi daerah kabupaten/kota" sehingga akan sangat meringankan beban dari pemerintah pusat yang terlalu luas .

Dalam posisi ini, Gubernur mempunyai kedudukan, peranan dan fungsi sangat kuat. Gubernur berwenang mengawasi dan mengendalikan jalannya penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kabupaten/kota dalam wilayahnya. Bahkan, berwenang menentukan derajat situasi dan kondisi sosial dalam lingkup wilayahnya .

Dengan bertolak pada asumsi dasar tersebut, maka sepatutnya pemerintah pusat memberi "keleluasaan" pemerintah daerah untuk menentukan pilihan-pilihan opsi yang akan diambil sebagai wujud pencegahan wabah covid- 19. Bukan sebaliknya pemerintah pusat justru memantik ketidakkonsistenan dalam memutuskan berbagai kebijakan .

Hal itu bisa di lihat, ketika pemerintah pusat memutuskan: pembatasan sosial berskala besar. Tetapi di sisi lain, terakhir kebijakan diperbolehkan mudik. Atau dengan kata lain, boleh mudik tapi para tokoh diminta sosialisasi agar warga tidak mudik. Tentu saja, kebijakan ini menimbulkan ketidak jelasan/ketidak pastian yang pada gilirannya ketidak konsistenan itu sendiri .

Ironisnya lagi, pemerintah memberikan kekuatan ekstrim kepada dirinya sendiri, tapi tidak mengambil tindakan ekstrem untuk memerangi virus corona. Lagi-lagi hal itu bisa di lihat, tatkala TKA masih  berdatangan dari luar sementara kebijakan pemerintah melarang masyarakat berkerumun. Dan yang lebih tragis lagi, usulan untuk membebaskan napi koruptor. Sampai pengetikan tulisan ini masih pada level wacana (usulan).

Para aktivis dan kelompok masyarakat anti korupsi melakukan protes keras kepada pemetintah agar permohonan itu tidak dikabulkan/ditolak oleh Presiden. Sebagai masyarakat, tentu saja selalu  menginginkan pemerintahan tetap berjalan di jalur yang benar .

Oleh sebab itu, jangan karena alasan pandemi,  pemerintah menggunakan kekuasaan secara berlebihan atau dengan cara akal-akalan sehingga memunculkan ide membebaskan koruptor dengan dalih virus corona.

Seperti seruan sekelompok pakar yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan peringatan keras bahwa tindakan darurat terkait dengan pandemi corona tidak boleh digunakan oleh pemerintah untuk tujuan politik .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun