Mohon tunggu...
Abu Salam Rery
Abu Salam Rery Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di MTSN Ambon

Anak timur yang suka Sejarah, Penyimak lagu-lagu Indie.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haji, Perlawanan dan Realitas Hari Ini

24 Juni 2023   14:13 Diperbarui: 24 Juni 2023   14:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

                                                                                            Haji, Perlawanan dan Realitas Hari Ini

                                                                                                                  Oleh : Abu Salam Rery

                                                                                             (Pengajar Pada MTSN Batumerah Ambon)

Haji merupakan ritus keagamaan agama-agama samawi dan melaksanakan kunjungan ke Ka'bah adalah ritual yang telah dipraktekan oleh umat manusia, mulai permulaan keberadaan manusia. Ibadah Haji menurut Islam adalah aktifitas keagamaan yang merekatkan manusia dengan sang penciptanya, hingga perjumpaan dengan sesama umat Islam dari berbagai dunia. Menurut Islam, ibadah haji adalah aktifitas keagamaan yang merekatkan manusia dengan Khaliq dan manusia dengan manusia. Lalu bagaimana kita melihat Haji hari ini dan haji di zaman dulu apakah ada perbedaan di antara keduanya? Tulisan ini mengangkat realitas haji kini dan dulu serta peran mereka yang baru pulang dari tanah suci, apakah semakin baik, atau justru menjadi terlihat angkuh dengan label dan gelar baru pada namanya.

Realitas Haji Dulu dan Kini

Ibadah haji merupakan ibadah yang identik dengan ibadah universal. Dalam ibadah haji tidak hanya manusia berhubungan dengan Allah Hablum min Allah saja namun ada interkasi manusia dengan manusia Hablum min al-nas, yang boleh jadi keduanya tidak ada hubungan kekerabatan namun disatukan dengan persaudaraan atas agama yakni Ukhuwah Diniyah, harus ada keselarasan antara Hablum min Allah dan Hablum min al-nas, yakni hubungan vertikal manusia dengan Allah dan hubungan horizontal manusia dengan manusia.

Mahmud Al-Istanbuli, seorang Ilmuwan asal Turki menulis,  Ibadah Haji adalah sambungan Islam paling positif untuk melahirkan manusia-manusia ideal yang satu hati dan satu amal yang selalu dicita-citakan para filsuf, sejak masa Plato, Al-Farabi, Thomas Morus sampai era filsuf hari ini. Prof Muhammad Athiyyah Al-Abrassyi dalam bukunya yang berjudul: "Keagungan Muhammad Rasulullah" dilukiskan ibadah haji sebagai perjumpaan kaum muslimin sedunia di tanah suci, dimana terasa betapa hangatnya semangat Islam, demokrasi Islam, persamaan penuh antara kaum kaya dan kaum miskin, kekuatan jiwa tauhid dan hanya takut kepada Allah.

Namun apakah laku-laku ini hanya bertahan saat mereka melaksanakan ibadah haji saja, pertanyaan sekarang bagaimana setelah mereka balik dari tanah suci, apakah sikap persaudaraan itu tetap tumbuh atau justru memudar? Apakah saling menolong atau justru malah sepulang dari tanah suci justru kemudian membusung dada dan bersikap angkuh terhadap lingkungan sekitar.

Realitas yang terjadi haji dulu dan kini justru sangat bertolak belakang. Kalau kita mau melihat haji dulu mereka menjadikan ibadah haji sebagai ibadah tarbiyah, ibadah yang kemudian mendidik mereka untuk terus mau berjuang. Bahkan gelar haji yang sering dibanggakan oleh para jamaah haji sebakdah pulang dari Mekkah, konon adalah pemberian kaum kolonial kepada para haji yang datang ke Indonesia dulu. Gelar itu diberikan agar langkah para haji ini kemudian terus diikuti dan bisa diredam, sebab mereka yang sering melakukan perlawanan adalah mereka yang pulang dari Mekkah.

Realitas hari ini seperti apa, mungkin kita bisa lihat dari film "Tukang Bubur Naik Haji" film yang dibintangi oleh Mat Solar (Haji Sulam), Citra Kirana (Rumana),  Andi Arsyil (Robby Zidni), Nanik Wijaya (Emak Haji), Uci bin Slamet (Haji Rodhiyah), Alice Norine (Riri), Aditya Herpavi (Rahmadi), Latif Sitepu (Haji Muhidin), Shinta Muin (Haji Maemunah) dan beberapa artis lainnya. Film ini menceritakan kisah dari seorang tukang bubur yang kemudian bisa menunaikan ibadah haji dari hasil jualan buburnya yang ingin saya ceritakan dari film ini adalah sikap iri yang dimiliki oleh salah satu pemeran dari film ini. yakni Haji Muhidin, haji Muhidin digambarkan sebagai toko yang antagonis, sifat iri, sombong dan takabbur melekat pada dirinya, sebakdah pulang dari Haji sifatnya tidak berubah. Malah makin menjadi korbannya adalah kelurga Haji Sulam.

Saya tidak tahu di akhir film ini Haji Muhidin seperti apa, sebab tidak sampai habis mengikuti jalan ceritanya, karena saya sadar menonton film ini sama halnya dengan membuat emosi meletup-letup. Yang ingin saya sampaikan adalah haji itu harusnya lebih jeli dalam melihat realitas yang terjadi, dia harusnya menjadi seorang toko yang terdepan ketika ada kedzoliman, bukan justru menjadi pelaku yang membuat kedzoliman. Karena Haji itu gelar yang diberikan kaum kolonial untuk mereka yang melawan maka seharusnya orang yang bergelar haji itu adalah dia yang melakukan perlawanan. Perlawanan kepada yang berlaku dzolim, perlawanan kepada yang suka menindas.

Film ini satire yang berperan juga hanya sebatas acting. Namun yang perlu kita tahu film ini di angkat dari kisah nyata, kisah seorang haji yang baik hati, berjuang untuk sesuap nasi kemudian dipanggil Allah bertamu ke Baitullah. Realitas haji kita hari ini seperti itu, ada yang kemudian pulang dari ibadah ke tanah suci kemudian menjadi pribadi yang lebih baik suka menolong bahkan bisa jadi melawan kuasa yang tiran. Namun ada juga yang ketika pulang dari tanah suci justru tambah sombong, angkuh bahkan bersikap khianat jika diberi kuasa. Ya, tergantung niat dan bersih tidaknya hati mereka.

Haji Adalah Panggilan

Antusias umat Islam yang berhaji sangat besar, bahkan dalam sebuh artikel menyebutkan tingkat antusias umat yang ingin melaksanakan rukun Islam ke lima ini mulai dari yang lulusan SD hingga Sarjana. Bahkan kalau dilihat dari jenjang pendidikan jumlah pendaftar haji lulusan SD (Sekolah Dasar) menempati urutan pertama. Hal ini berdasarkan data dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementrian Agama (Kemenag) menunjukan jamaah haji tamatan SD sebanyak 941.183 0rang, SMA 721.685 Orang, S1 641.614 Orang dan lulusan SMP sebanyak 351.969 orang, data ini di ambil tahun 2019, kalau di tahun sekarang kemungkinan besar tetap sama bahkan bisa jadi lebih tinggi.

Uraian di atas menunjukan bahwa tingkat keinginan berhaji di tanah air sangat tinggi, yang kedua panggilan haji adalah panggilan Allah, sehingga sesiapapun bisa melaksanakan haji, haji bukan soal kemampuan finansial, namun soal undangan dari Allah untuk hamba-hambanya, sehingga apapun kondisinya jika Allah yang mengundang, maka dalam kondisi apapun dia akan bisa dan mampu untuk naik haji, berbeda dengan dia yang tidak di undang, sekaya apapun dia segelintir apapun hartanya lalu dia memaksa untuk tetap berhaji, maka Allah punya banyak cara untuk tidak memberangkatkannya.

Contoh yang paling kekinian adalah kisah Baim dan Kakek Juhani, kalian masih ingat seorang kakek yang mau turun dari pesawat sebab belum memberi makan ayamnya?, namanya kakek Juhani Calon Jamaah Haji (CJH) asal Majalengka, kakek Juhani tidak memiliki ayam, yang mempunyai ayam adalah anaknya, namun yang memberi makan ayam itu adalah beliau kakek Juhani. Mungkin atas kebaikan beliau itulah Allah kemudian mengundangnya berjumpa di tanah suci.

Cerita kakek Juhani berbeda dengan kisah Mas Baim, siapa yang tidak kenal dengan aktor yang satu ini?. baru-baru ini tersiar kabar  mas baim membatalkan keberangakatan hajinya sebab ingin menemani sang istri yang sakit. Terlepas dari apapun alasan itu, lagi-lagi haji itu soal panggilan.

Kalau dulu naik haji dipakai untuk melawan. Maka, Mari kita lihat realitas para haji di sekitar lingkungan, tempat kerja dan pertemanan kita hari ini. Kita bersyukur dengan tingginya minat dan kemampuan umat Islam Indonesia untuk melaksanakan Ibadah Haji hari ini. Hal ini layak disambut dengan penuh syukur dan sukacita, apalagi jamaah haji Indonesia adalah jamaah haji yang paling terbesar dibanding negara-negara lain. namun yang terbesar dan banyak ini kadang meninggalkan noda-noda hitam ditengah umat. Seorang yang telah berhaji seharusnya lebih baik, lebih santun dan lebih jernih dalam tiap sikap dan lakunya. Namun yang terjadi ditengah masyarakat justru oknum-oknum haji ini sering menimbulkan sifat yang negatif untuk masyarakat.

Haji Itu Melawan.

Gelar Haji, adalah gelar yang disematkan pemerintah Hindia Belanda untuk tiap pribumi yang kembali ke Indonesia. Gelar yang disematkan kepada mereka-mereka yang kembali ini diberikan sebab ketakukan kaum kolonial. Arab adalah tempat berkumpul para jamaah haji yang datang dari Nusantara, dan perjumpaannya dengan para jamaah haji dari berbagai negara. Persinggungan antara masyarakat nusantara dengan muslim dari negara lain kadang memunculkan kesadaran politik yang lebih religius untuk melawan penindasan yang dilakukan kolonial.

Haji Prawatasari misalnya, VOC begitu khawatir dengan kehadiran orang ini, pada tahun 1700-an di Cianjur yang memimpin kala itu adalah Aria Wiratanu II (1691-1707). Aria adalah kaka dari Haji Prawatasari, ia lebih di akrab dengan panggilan Raden Prawatasari. Bagi VOC Raden Prawatasari adalah orang yang tidak bisa diajak untuk berkompromi. Bahkan sebab pusing mengurusi sang adik (Raden Prawatasari) sang kaka kemudian memberangkatkan sang adik berhaji ke Mekkah.

Dikira dengan pergi berhaji sang adik akan begitu lunak dan bisa di ajak untuk berkompromi kecil-kecilan, rupanya api perlawanan itu bermula sebakdah dari tanah suci. Setelah sampai ke Indonesia, Prawatasari tidak langsung berjumpa dengan kakanya, namun justru ke Giri dan menjumpai "Ulama-ulama fanatik" yang berada di sana. Prawatasari kemudian membuat api perlawanan dan membakar semangat masyarakat di sana. Memberontak terhadap orang asing yang tidak beragama adalah jalan yang dipakainya dalam membuat api perlawanan.

Bahkan jauh sebelum Pangeran Diponegoro membakar semangat masyarakat Jawa dengan perang Jawa, Prawatasari sudah melakukan perlawanan di Jawa Barat terlebih dahulu dengan melancarakan perlawanan bersenjata.

Haji itu gelaran untuk kaum yang melawan. Mungkin itu yang dipikirkan beberapa Haji dari Banten di tahun 1888. Haji Ishak di Saneja, Haji Wasid di Jombang Wetan, Haji Abdulgani, Haji Usman dan Haji Tubagus Ismail di Cilegon.  Para haji ini kemudian mengasasi perlawanan petani Banten pada tahun 1888. Haji Ishak memimpin pasukan dan menyerang kediaman Henri Fancois Dumas, seorang juru tulis pada kantor Residen. Namun Dumas melarikan diri dan bersembunyi pada rumah salah satu jaksa yang menjadi tetangganya. Istri Dumas, terluka. Dua anaknya berlindung pada rumah ajun kolektor. Dan si bungsu kemudian dilindungi sang pembantu, Minah namanya.

Sementara itu pada markas Pasar Jombang Wetan berkumpul haji Wasid dan ratusan pengikutnya, disana Haji Wasid memimpin pemberontakan, dia kemudian membagi kelompok menjadi tiga, kelompok pertama dipimpin Lurah Jasim, kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dan Haji Usman sementara pada kelompok yang ketiga dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman. Pemberontakan ini sasarannya adalah penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.

Haji-haji ini kemudian melakukan perlawanan umum, Haji Tubagus menjumpai Dumas yang bersembunyi di rumah orang Tionghoa, Tan Heng Kok. Istri dan Anaknya Alfred Dumas, mengalami luka dan kemudian dibawa ke Kepatihan oleh Ajun Kolektor, di tempat lain anak bungsu Dumas dan Minah ditemukan di Sawah dalam keadaan hidup namun terluka, anak bungsu itu kemudian wafat pada tanggal 24 Juli 1888. Sementara itu Haji Tubagus Ismail juga membunuh Johan Henrick Hubbert Gubbles, Haji Usman dan pasukannya menyerang Ulric Bachet, Lurah Jasim melakukan perlawanan di rumah Ajun Kolektor dan melawan sang anak ajun yang mahir bersilat. Haji-haji ini. 

Semoga kelak kita semua bisa memenuhi panggilanNya, dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya. Menjadi haji yang kemudian pulang dan tetap menebar kemanfaatan, menjadi penyejuk di tengah masyarakat dan menjadi penyokong kebaikan di tengah keburukan yang besar. Semoga para haji yang pulang ke tanah air menjadi haji yang mabrur dan mabruroh, di sehatkan fisik sampai berjumpa dengan keluarganya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun