Apa itu LPSK ?
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden.
Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
Anggota-anggota LPSK yaitu:
- Abdul Haris Semendawai, S.H., LLM ( Ketua)
- Lies Sulistiani, S.H., M.H. (Wakil Ketua)
- Lili Pintauli Siregar, S.H.
- H. RM. Sindhu Krishno, Bc.IP., S.H., M.H.
- Irjen Pol .(purn) drs. H. Teguh Soedarsono, S.IK., S.H., MSi
Betapa mulia tugas yg diemban LPSK ini dan sangat terhormat bila dilakukan dengan seutuhnya dan sebenar benarnya… dan hebatnya LPSK bertanggung jawab langsung kepada Presiden…Wow, berarti apa yg dilakukan LPSK adalah kepanjangan tangan Presiden.
Permintaan Teleconference Bagi Saksi Kasus Cebongan.
Dengan pertimbangan kondisi psikologis saksi saksi yg tertekan, depresi dan trauma, LPSK mengusulkan penggunaan teleconference bagi saksi saksi kasus Cebongan, agar mereka bebas memberikan kesaksian tanpa ada tekanan dari siapapun.
Namun wacana ini mengalami penolakan, baik dari fihak aparat keamanan maupun masayarakat Jogja, dan akhirnya batal dilaksanakan. Padahal isu yang berkembangLPSK telah membuat surat pengajuan pengadaan barang untuk alat alat Teleconference yang konon nominalnya diakhiri huruf‘M’…oh berarti satu proyek dan satu pesanan sudah gagal.
Memang alasan yang dikemukakan LPSK dan Komnas HAM untuk menyelenggarakan Teleconference bagi saksi saksi kasus Cebongan sangat berlebihan dan tidak rasional, jarak dari LP Cebongan ke DIlmil yang relative dekat adalah alasanyang nyata, ditambah jaminan dari fihak keamanan yang menjamin 100% keamanan para saksi serta jaminan masyarakatJogja sendiri yang siap mengamankan seluruh proses persidangan. Tentunya juga permohonan teleconference tersebut dianggap melecehkan kredibilitas dan kinerja aparat keamanan di wil Jogja, dalam hal ini Polda DIY dan Korem 072 Pamungkas.
Jadi ada unsur menambah penghasilan juga pada wacana teleconference ini ??
Bunder LPSK Pada Kasus Cebongan.
LPSK adalahi lembaga independen yang seharusnya hanya mengurusi perlindungan saksi dan korban. Namun pernah melakukan blunder danmelenceng dari tugas pokoknya. Pada tanggal 15 Juli 2013 sebanyak 7 orang saksi penyerbuan LP Cebongan an.Yusuf Sihotang cs. yang tinggal di lapas II-B didatangi oleh seseorang yang menyamar sebagai interogator dan mengaku dari Mabes TNI. Orang tersebut melakukan pemaksaan dan intimidasi terhadap para saksi melalui pertanyaan - pertanyaan yang diberikan paska diambilnya keterangan para saksi oleh majelis hakim di Dilmil. Kegiatan tersebut dilakukan didalam sel tahanan lapas Cebongan atas seijin Kalapas LP. Cebongan, dan dilakuakan beberapa kali.
Dari kejadian diatas tentu sangat menarik untuk di pelajari. Pertama, lembaga yang berhak mengorek informasi (keterangan) terhadap para saksi adalah kepolisian dan LPSK karena para saksi ada di bawah hukum sipil sehingga tidak mungkin bila Mabes TNI memerintahkan jajarannya untuk mengorek keterangan dari saksi yang saat itu di LP. Cebongan. Andaikata di perlukan keterangannya, Mabes TNI tidak perlu mengirim orang ke LP. Cebongan cukup memanggil 7 saksi tersebut secara resmi ke Denpom IV/Diponegoro. Terindikasikan bahwa orang orang tersebut adalah orang orang yang sengaja dipanggil untuk memberikan doktrin dan tekanan agar para saksi membuat pernyataan bahwan mereka dalam keadaan depresi dan trauma sehingga dapatnya mereka bersaksi melalui teleconference serta mereka juga dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan anggota Kopassus.
Disini terbaca adanya konspirasi Kalapas dengan LPSK dalam hal perlakuan saksi saksi kasus Cebongan ini. Dimana secara resmi saksi saksi berada di bawah pengawasan LPSK dan mempercayakan keamanannya ke pihak Lapas. Akan tetapi pada kenyataannya, pihak Lapas membiarkan orang lain masuk dan melakukan interogasi diluar ketentuan. Itu artinya tidak mungkin apabila kegiatan tersebut diluar sepengetahuan pihak Lapas dan LPSK. Sebuah konspirasi yang penuh tanda tanya… dan banyak masyarakat menduga keterlibatan ‘Coklat” dalam konspirasi ini, mengingat salah satu anggota LPSK adalah mantan jenderal Polisi.
Pasca Vonis Kasus Cebongan, LPSK Cari Lahan Baru.
"Kami siap memfasilitasi kalau Ucok dan kawan-kawan mau jadi justice collaborator atau whistle blower," kata anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Irjen (Purn) Teguh Soedarsono, Jumat (06/09/2013) malam
Pernyataan tersebut dibuat pada acara yang digelar LPSK di ruang Jatinom Hotel Santika Jl. Jendral Sudirman Jogjakarta,6 Agustus 2013 Pukul 16.00 WIB dengan dihadiri wartawan dari sejumlah media, Kakanwil Kumham, Kalapas Cebongan dan Komnasham. Dalam kegiatan tersebut LPSK akan melakukan evaluasi untuk menentukan langkah dan upaya tindak lanjut terkait hasil dari vonis peradilan militer yang di jatuhkan kepada 12 prajurit Kopassus.
Ada sesuatu yang menggelitik…acara tersebut digelar hanya 1 hari seusai siding pembacaan vonis Serda Ucok cs. Dimana pada siding tersebut ribuan masyarakat Jogja turun ke jalan mendukung pembebasan Ucok Cs dari segala tuduhan. Kenapa acara tersebut digelar begitu cepat di tengah kekecewaan masyarakat Jogja yang belum reda…Kenapa undangan dibuat terbatas hanya beberapa oragnisasi yang pasti sepaham dengan LPSK, kenapa tidak ada ormas Jogja atau Tokoh Jogja yang diundang..??
Pada substansi pembahasan terdapat sebuah ‘pesanan’ yang kentara sekali merupakan upaya pemutarbalikan fakta…ada kesimpulan yang diucapkan bahwa pembunuhan Serka Santoso adalah bagian dari perebutan lahan para “Kartel Narkoba” dengan kata lain menuduh Kopassus terlibat dalam kartel narkoba di Jogja melalui dikirimnya Serka Santoso ke Hugos Café.. padahal…??
Semua tahu bahwa salah satu korban tragedy Cebongan adalah seorang Polisi Briptu Juan Mambait, seorang polisi yang ‘dipecat instan’ menjelang dipindahkan ke LP.Cebongan. Siapa Juan Mambait, mungkin seluruh anggota Polda DIY sudah tahu sepak terjangnya dalam dunia Narkoba Jogja, termasuk jaringannya ke seluruh tempat hiburan dan LP di wilayah Jogja.Konon Juan Mambait sempat melawan sewaktu akan dipecat instan karena tidak terima, tapi kemudian reda setelah dipanggil khusus ke kantor atasannya.
Sebelumnya isu tentang keharusan dibuka kembalinya pembunuhan Serka Santoso di Hugos Café gencar disuarakan masyarakat Jogja, dan ini membuat kekhawatiran yg kuat dikalangan baju coklat, karena disinyalir adanya info tentang keberadaan beberapa perwira Polisi di Hugos Café, dan jelas jelas menyaksikan peristiwa pembunuhan tersebut, tapi tidak melakukan apa apa karena mereka sedang mabuk dengan seorang petinggi preman Jogja yang notabene adalah ‘Godfather’nya Deki Cs.
Inilah kemudian yang menjadi titipan bagi LPSK dalam pertemuan di hotel Santika kemaren, agar opini tentang kartel Narkoba berbalik pada institusi lain, titipan ini dibungkus dengan wacana kesiapan mereka melindungi Ucok Simbolon apabila dia mau menjadi ‘Whistle Blower’ untuk mengungkap fakta lain tentang kasus Cebongan.Ini jelas sinergitas LPSK dengan Komnas HAM untuk nyari kerjaan ke depannya…agar kasus Cebongan tetap jadi komoditas yang menghasilkan banyak penghasilan bagi 2 lembaga‘Independen’ ini.
Itulah sedikit uraian dan analisa yang penulis harap dapat bermanfaat bagi kebaikan bangsa kita dalam menambal sedikit kebobrokan hokum di Indonesia…yang mungkin perlu revolusi besar atau perang besar untuk kita bisa merubahnya kea rah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H