Judul ini lahir dari kekesalan penulis ketika membaca postingan postingan yang dianggap dakwah, justru secara tidak sadar mencoreng atau merendahkan perempuan. Dalam postingan tersebut mengatakan bahwa, "Tuhan memberikan laki2 kelebihan, salah satunya adalah kecerdasan (sebodoh bodohnya laki2 ia pandai mengatur emosinya, sepintar pintarnya perempuan ia kalah dengan emosinya." Â Postingan tersebut yang awalnya ingin menolak patriarki, justru memiliki motif patriarki tapi lebih tersembunyi, terlebih lagi yang digunakan adalah ayat ayat untuk mendukung postingan tersebut.
Penulis melihat bahwa itu bukan kelebihan mutlak, tapi itu hanya kecendrungan. Buktinya apa? Justru sekarang, laki laki yang kecendrungan dalam gangguan jiwa (odgj), ketimbang perempuan. Dimana letak motif patriarkinya? Jika menganalisis redaksi dari postingan tersebut, motif patriarki tersembunyi dalam kalimat tersebut, "laki laki, baik pintar maupun bodoh ia tetap mampu mengatur emosinya. Sedangkan perempuan, jangan bodoh, ketika pintar saja ia dianggap tidak mampu mengatur emosinya." Perempuan divisualisasikan sebagai sosok yang tidak berdaya dari segi mengatur emosi. Laki laki lebih superior dalam segala hal.
Â
Lebih parahnya lagi, karena menyematkan nama Tuhan dan mengklaim bahwa Tuhan yang memberikan kelebihan tersebut kepada laki laki. Patriarki sekarang justru lebih tersembunyi, bersembunyi dibalik terminologi agama. Lebih halus dibanding makhluk halus, lebih ganas dibanding singa, lebih manipulatif dibanding serigala yang berbulu domba. Penulis tetap husnudzon, mungkin yang buat postingan tidak tahu atau kurang mendalami.
Kekesalan penulis tidak sampai disitu. Dalam postingan tersebut juga mengatakan bahwa kelebihan laki laki yang lain adalah "Laki2 ebih berani dibanding perempuan (ketika ada hewan buas, perempuan langsung teriak sedangkan laki2 berani)". Apakah betul demikian? Dikehidupan nyata, ketika laki laki dan perempuan diperhadapkan dengan singa kelaparan, kira kira responnya bagaimana?
Mungkin yang membuat postingan kebanyakan nonton sinetron atau superhero. Sehingga Pahlawan yang selalu tampil berani adalah laki laki. Jika berbicara kecendrungan, itu bisa ditolerir tapi, ketika memutlakkan, ini yang patut dicurigai. Karena kelebihan kelebihan yang dimaksud dalam postingan tersebut justru kotra dengan fakta yang ada. Lagi lagi penulis husnudzon, mungkin itu kesalahan penulis dalam memahami postingan tersebut.
Tulisan ini adalah sebuah refleksi dari keresahan yang sangat relevan di zaman sekarang, ketika nilai-nilai patriarki tidak lagi tampil secara terang-terangan, tetapi bersembunyi di balik dalil-dalil agama, budaya, atau bahkan ilmu pengetahuan yang seolah-olah netral. Diskriminasi terhadap perempuan sering kali dibungkus dengan narasi yang kelihatan ilmiah atau religius, padahal sesungguhnya memperkuat stereotip lama yang tidak adil.
Dalam hal ini, penulis menyentuh satu poin yang sangat penting: penyematan nama Tuhan untuk memperkuat posisi laki-laki di atas perempuan. Ini adalah taktik patriarki yang sudah terjadi selama berabad-abad, di mana laki-laki sering diuntungkan dalam struktur sosial dengan menggunakan tafsir-tafsir tertentu. Pada kenyataannya, Tuhan tidak memberikan "kelebihan mutlak" kepada satu jenis kelamin di atas yang lain. Banyak dari perbedaan yang kita amati hanyalah hasil dari pengondisian sosial, bukan kodrat atau kehendak Tuhan.
Lebih jauh lagi, klaim bahwa laki-laki lebih "berani" atau lebih "pandai mengatur emosi" dibandingkan perempuan tidak hanya tidak berdasarkan fakta, tetapi juga merendahkan kedua belah pihak. Perempuan sering dianggap lebih emosional dan karenanya tidak layak untuk memimpin atau mengambil keputusan yang besar, padahal emosi adalah bagian dari kemanusiaan, dan kemampuan untuk mengenali serta mengelola emosi adalah tanda kecerdasan emosional yang bisa dimiliki siapa saja, terlepas dari jenis kelaminnya.
Kemudian, mari kita bicarakan tentang klaim keberanian yang disematkan kepada laki-laki. Seperti yang penulis sebutkan, ini adalah gambaran stereotip yang sering ditampilkan di media. Laki-laki dianggap pahlawan yang siap menghadapi bahaya, sementara perempuan diposisikan sebagai korban yang harus diselamatkan. Padahal, keberanian tidak selalu berbentuk fisik atau diukur dari bagaimana seseorang merespons ancaman langsung. Ada banyak bentuk keberanian yang lebih subtil namun sama-sama penting, seperti keberanian dalam menyuarakan kebenaran di tengah ketidakadilan, dalam menjaga integritas di lingkungan yang korup, atau dalam membela hak-hak mereka yang tertindas---dan ini adalah keberanian yang sama-sama dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, dalam banyak masyarakat di dunia, perempuan sering kali menunjukkan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi situasi hidup yang sulit, mulai dari menjadi tulang punggung keluarga hingga memperjuangkan hak-hak mereka di masyarakat yang konservatif. Apakah keberanian ini lebih rendah nilainya dibanding keberanian laki-laki yang digambarkan dalam narasi yang heroik dan macho? Tentu tidak.
Ketika membicarakan masalah ini, kita perlu waspada terhadap retorika yang tampaknya berusaha menyeimbangkan narasi tetapi tetap menyematkan superioritas pada laki-laki. Istilah seperti "secara alami laki-laki lebih berani" atau "secara naluriah perempuan lebih emosional" adalah cara halus untuk mempertahankan status quo yang patriarkal.