Mohon tunggu...
Munif Mutawalli
Munif Mutawalli Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Asia Barat

Kebenaran akan terdengar di telinga - telinga yang mencarinya (thalabul haqq), kecuali orang - orang yang mencari pembenaran dan enggan untuk mencari kebenaran (jahil murakkab). Tugas kolektif (bersama) adalah menjaga kebenaran (dimanapun, bagaimnapun dan dari siapapun kebenaran tersebut), sebelum 'hoax' luas membumi dan 'kesesatan berpikir' nikmat menindas serta menghegemoni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sudah Menutupi, Kok Masih Dilarang Tampil?

6 Mei 2024   22:47 Diperbarui: 6 Mei 2024   23:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena beragama memang selalu 'seksi' untuk dibahas. Pasalnya, fenomena tersebut menarik perhatian para peneliti untuk mengkaji, baik dari pihak internal orang beragama itu sendiri serta orientalisme, juga telah menjadi bulan bulanan ateisme untuk mengukuhkan keyakinannya dalam menolak keberadaan adikodrati.

Kegelisahan dan keresahan yang dialami ateisme kepada agama dikarenakan adanya perilaku perilaku yang mengekang, memenjarakan, dan justru tidak mengikuti nafas kemanusiaan yang bisa diterima oleh semua manusia. 

Ramai yang meninggalkan agama dikarenakan hal tersebut, mereka melihat agama secara negatif. Namun yang menjadi pertanyaan kita, apakah perilaku tersebut merepresentasi agama secara mutlak?

 Lowong yang dilihat juga hanya sekedar penampakan, itupun hanya dari beberapa orang yang menganut agama, apakah semua penganut agama mengalami hal seperti itu?

Penulis tidak berniat menjelaskan perihal ateis secara serius, karena yang ingin dibahas adalah salah satu laku laku orang bergama dalam menjalankan atau mempersepsi agama. Namun dalam tulisan ini, hanya memberikan gugatan gugatan terhadap fenomena tersebut, bukan untuk menggantikan posisi ulama. Dalam hal ini, ulama masih lebih otoritas dan tulisan ini sangat layak dibantah serta sangat berpotensi salah.

Judul tulisan ini sangatlah provokatif dan masih ambigu. Dari judul diatas, mengarah kepada satu perintah agama yaitu menutup aurat. Tidak menjadi soal terkait menutupi aurat dan batasan batasannya, semua ulama sepakat. Bahwa yang patut di tutupi ialah semuanya kecuali wajah dan telapak tangan, ada juga yang berpandangan bahwa sunnahnya juga yaitu menutupi wajah dengan kain, yang kemudian disebut sebagai cadar, niqob, dan burdah.

Subjek bahasan dari persoalan ini adalah perintah Tuhan yang suci ini mengapa justru membuat manusia tidak mempunyai rung gerak. Misal hijab yang sudah menutupi aurat perempuan, malah kemudian ikut dilarang bersosialisasi, berkarya, dan tampil.

Hemat penulis, jika tidak menutupi aurat kemudian keluar tampil, lalu dilarang, itu wajar (jika mengikuti aturan main agama). Tapi, ini tidak, sebagian orang terkebih lagi yang berlabel ustadz justru melarang untuk tampil di sosial serta mengekspresikan diri. 

Penulis membatasi persoalan, bahwa tidak ada kaitan apakah ketika dia tampil dengan motif ini dan itu, itu bukan menjadi pembahasan dari judul besar tulisan ini. Adapun terkait motif seseorang tampil bersosialisasi, itu perkara subjektif.

Ramai yang menyimpulkan bahwa perempuan dilarang tampil karena perempuan merupakan sumber fitnah, sumber dosa bagi laki laki, perempuan kebanyakan di neraka, dan lain sebagainya. Narasi narasi seperti ini masih sering digaungkan dan menjadi alat untuk menakut nakuti atau menguasai perempuan. Sehingga pada akhirnya, perempuan cukup di rumah saja, melayani ereksi laki laki, perut laki laki, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun