Mohon tunggu...
Ibnu Jarieh
Ibnu Jarieh Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hanya orang kecil, yang berharap bisa berbuat untuk hal-hal kecil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Popularitas Rhoma Tidak Cukup? “Sungguh Terlalu”

17 November 2012   15:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diakui ataupun tidak,prilaku memilih masyarakat kita lebih cenderung pada cara-cara ‘sepemahaman’, mana yang banyak. Kultur sepemahaman ini dapat kita lihat dari bagaimana masyarakat yang lebih cenderung mengedepankan 'pola pandang' dari pada pola pikir dalam menghadapi berbagai polemik kehidupan bermasyarakat. Masih banyak masyarakat kita dalam memutuskan tindakan berdasar pada ide ‘keputusan bersama’ dari padaanalisa. Begitu juga ketika mereka menentukan sebuah pilihan dari sekian banyak tawaran yang disodorkan. Ada yang aneh, ditelinga saya, dari penyataan bung Nurul berkaitan dengan santernya isu nyapresnya si raja dangdut, H. Rhoma Irama. Keanehan itu semakin kentara ketika kita cobasinggungkan dengan realita ‘pola pandang’ (melihat dan menerima) masyarakat kita terhadap seseorang.

Banyaknya kandidat yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi, loyalitas yang luar biasa dipartainya, harus gagal terpilih hanya karena mereka kurang –tidak- dikenal atau tidak ‘diperkenalkan’ melalui figur yang dikenal masyarakat. Tidak heran bila pada dasawarsa ini, akhirnyabanyak calon-calon yang mengusung para artis bahkan kiai sebagai juru bicara (jubir), bahkan lebih ironi lagi foto-foto mereka (artis-kiai) ikut terpampang bersama para calon.

Peta-peta masyarakat seperti inilah yang setiap kali akan diadakan ‘pesta rakyat’ menjadi lahan subur yang diperebutkan para kandidat pemilihan. Masyarakat dengan‘tekstur’ sealur-sepemahaman, pola pandang, ini lebih mudah untuk didekati dan diarahkan dari pada masyarakat yang sedikit mulai ‘menghias’ pola pikir mereka dengan berbagai analisa.

Begitu juga dengan analisa atas ‘nilai merah’ Rhoma oleh beberapa orang yang tidak setuju dengan wacana nyapresnya si raja dangdut ini. Akan membutuhkan banyak bukti yang mampu menguburkan rasa ‘manusiawi’ yang terlontar dari para pendukung, penggemar dan fan-fan Rhoma dari sekedar tuduhan pelecehan seksual, tukang kawin dan lain sebagainya. Serta segudang ‘fitnah’ untuk membunuh golongan masyarakat yang sudah terlanjur mengkultus Rhoma sebagai figur yang bisa menghibur, ‘nentremke ati’, melalui nada-dakwah syahdunya.

Rasa Manusiawi Itu Menyakitkan

Minimnya masyakarat kita yang mampu berpola pikir realistis setiap kali diselenggarakannya pemilihan umum adalah salah satu sebab minimnya Indonesia memiliki pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan yang mampumemihak pada kepentingan rakyat. Acapkali masyarakat harus menelan ludah atas pahitnya kebijakan yang diambil oleh pemimpin-pemimpin atau terpaksa harus merasakan sakitnya dikhianati oleh waki-wakil terhormat yang mereka pilih.

Ironis memang bila pada awalnya masyarakat dipaksa menerima suatu kebijakan pemerintah dengan alasan pembangunan, kemajuan dan semacamnya, namun pada akhirnya dari kebijakan tersebut harus menyeret beberapa oknum pemerintah yang mengeruk keuntungan dari kebijakan itu sendiri. Juga keengganan-malasnya- dewan-dewan terhormat terjun ke daerah-daerah konflik sebagai mediator sebatas penyambung ‘ujung benang’ yang putus-terurai sebab diskomunikasi-informasi sebelum konflik berubah menjadi ketegangan dan pecah yang berakibat terjadinya bentrokan massal. Banyak alasan yang bisa dilontarkan para petinggi negeri ini ketika terjadi human error atas kebijakan yang mereka buat.

Kesalahan itu manusiawi, bahkan sangat manusia. Dan kita sadar akan hal itu. Bahwa setiap orang sangat potensial melakukan kesalahan, tidak terkecuali para pejabat dan dewan terhormat. Yang membedakanakibat kesalahan itu hanya masalah pelaku. Kalau yang melakukan kesalahan itu oknum pemerintahan atau dewan terhormat, mereka cukup meminta maaf kepada semua lapisan masyarakat. Dan rasanya penjara yang dibuat pemerintah dari uang pajak rakyat masih longgar untuk menampung masyarakat kecil yang ‘diper-salahkan’ pemilik hukum negeri ini.

Sakit memang—mungkin--sesakit hati Rhoma manakala dari  sebab kepemilikan ‘nilai merah’ Rhoma, dari satu-dua sisi, kita anggap sebagai kesalahan, bertentangan dengan norma sosial masyarakat Indonesia, poligami misalnya, kemudian vonis ‘TIDAK PANTAS’ kita jatuhkan kepadanya yang memaksanya untuk membuang jauh-jauh keinginan nyapresnya.

Rhoma melakukan poligami itu manusiawi. Dan andaikan kita menilai prilaku poligami Rhoma itu salah, kesalahan itu juga manusiawi. Bahkan sakit hatinya seorang istri ketika dimadu, itupun juga manusiawi.

Rasanya tidak adil kita membunuh keinginannya untuk nyapres. Sebab keinginan itu juga manusiawi. Kecuali kita termasuk bagian dari orang-orang yang takut melihat potensi yang dimiliki Rhoma. Sebuah potensi bahwa keinginan Rhoma nyapres akan semakin mendekati titik ‘kematangan’ meskipun hanya diusung satu partai. Sebab modal besar sudah dikatonginya,popularitas, dukungan orang-orang seprofesi dan ditambah satu janji lagi ketika kampanye nanti, ‘masyarakat hajatan, musik dangdut gratis’.

Bukankah bangsa ini sedang sedih dan butuh dihibur? Sedih memikirkan petinggi negeri yang hanya sibuk ‘berbenah diri’. Sedih melihat kehidupan para dewan terhormat yang ‘melarat’. Dan masih banyak lagi kesedihan-kesedihan yang akan menguras habis air mata kita—itupun bila hati kita masih menyisakan rasa iba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun