“Dalamlaut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”, begitu, mungkin, peribahasa yang –menurutku-tepatuntuk menggambarkan diamnya umat muslim dengan tuduhan sebagai TERORIS. Sikap diam atas tuduhan ini dapat kita lihat dari besarnya aksi-reaksi mereka atas tuduhan tersebut. Berbeda dengan aksi-aksi mereka ketika salah satu ‘icon’ mereka dilecehkan. Seperti contoh, beredarnya film kartun atau yang masih hangat, setidaknya dilingkungan tempat tinggal saya, “innocence ofmuslims”, munculnya film tersebut spontan membuat marah muslim seantero dunia. Dan sebagai reaksi atas film tersebut, tewasnya Dubes AS untuk Libya, J Christopher Stevens, adalah harga yang cukup mahal untuk sebuah film, yang konon menyesatkan. Namun bagaimana dengan reaksi muslim dengan tuduhan terorisme yang hingga kini menjadi show of forceDENSUS 88?
Dengan penangkapan-penangkapan yang dilakukan Densus 88 pada segelintir orang yang dituduh sebagai pelaku teror, seakan membuat “jera” kaum muslim lainnya. Semuanya langsung menyingkir sejauh mungkin, atau sekedar sebagai penonton, takut ‘diterlibatkan’ masuk dalam tuduhan lingkaran terorisme. Ironisnya, apabila terjadi penangkapan seseorang yang dicurigai teroris, keluarga yang bersangkutan lantas menjauh, atau mungkin sengaja dijauhkan, dari media yang ada. Hanya rumah kosong, tanpa anak-istri, seakan hidup tanpa keluarga.
Tangis seorang ibu yang telah melahirkan anak –yang tertuduh sebagai teroris-- dan kesedihan seorang ayah yang berjuang membanting tulang demi kelangsungan sekolah anaknya, serta tekanan mental karena rasa malu yang dirasakan keluarga—sekali lagi, tertuduh terorisme--nyaris tidak diperdengarkan lagi. Lain halnya ketika tuduhan itu bersumber dari seseorang atau lembaga lain, non pemerintah, seperti yang sempat dilakukan Rohis, sekitar pertengahan September lalu terkait pemberitaan salah satu televisi swasta.
ISU TERORISME UNTUK MELUCUTI ISLAM?
Bila benar adanya, praduga saya, isu terorisme merupakan strategi yang efektif untuk ditempuh demi melucuti ‘kejantanan’ islam, rasanya telah terjadi ‘war unopossed’ yang jelas-jelas membuat si penuduh terorisme diatas angin. Didukung adanya sikap apatis, apriori, teman-kawanse-islam, sebab berbagai alasan, semakin mempermudah para ‘pemburu’ terorisme melancarkan aksi.
Ajaran islam yang cukup prinsipil seperti ‘sedarah sedaging”, sebagaimana pengertian atas sesama muslim-mu’min bagaikan satu kesatuan tubuh, bila salah satu bagian tubuhtersakiti yang lain akan merasakannya, mulai pupus. Jangankan untuk melakukan aksi ‘pembelaan’ sekedar mempertanyakan temanku seorang teroris? Berat rasanya dihati.
Pertanyaan yang perlu kita munculkan terkait dengan isu terorisme atas islam ini adalah kenapa tuduhan (penangkapan) pelaku terorisme itu tidak ditujukan para ‘penggede’ islam? MUI misalnya. Bukankah dilembaga ini banyak yang duduk ‘punggawa’ islam, ulama-ulama? Atau DEPAG. Bukankah lembaga ini yang memproduk kurikulum lembaga-lembaga pendidikan yang tidak bernaung dibawah negara (dikbud)?
Hal ini tentu sudah dapat dibaca dari pengalaman sejarah. Bahwa muslim (indonesia) paling rentan bila disinggungkan dengan ‘bendera’, paling tulen mensakralkan ‘icon-icon’ mereka. mengotori bendera sama saja melempar najis baju ibadah mereka, menyoyaknya sama artinya merobek jantungnya, apalagi membakarnya.
Isu ninja pada tahun 1998-an yang berawal dari Banyuwangi kemudian merembet ke daerah-daerah lain, Jawa Timur hingga Jawa Tengah, dengan modus menculik para guru ngaji, pemuka masyarakat (agama), bahkan kaliber kyai atau pembunuhan atas tuduhan ‘dukun santet’, merupakan kegagalan ‘mereka’ yang mencoba 'mengobok-obok' islam yang kini menjadi “lembaran usang” yang tidak dapat disuci-gunakan lagi.
Dan sampai saat ini, isu islam terisme masih efektif dan representatif, entah ke depan. Sebab, prospek isu tersebut ibarat membuat layu bahkan matinya sebatang pohon, besar sekalipun, tidak perlu memotong batang pohonnya. Hanya dengan mengerat, mengiris melingkar pada pangkal batang pohon atau dahan-dahan besarnya dengan panjang sayatan tidak lebih dari 10 cm dan kedalaman yang tidak lebih dari 5 cm. Tidak akan lama, bukan hanya daun-daunnya saja yang akan berguguran, ranting, dahan serta batang itu sendiri akan kering dan mati.
ISLAM DAN SENJATA PEMUSNAH MASALNYA
“Ketahuilah! sebagai sesama ummat Islam kami bersaudara, derita mereka adalah derita kami, tangis mereka adalah tangis kami dan darah mereka yang kalian tumpahkan adalah darah kami”.
Demikian sepenggal suratterbuka ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang dikirimkan kepada Presiden Myanmar, Thein Sein, 30/7/2012, ke Kedutaan Besar Myanmar untuk Indonesia, mewakili rasa sakit sesama muslim-mu’min seiman terkait kasus kaum muslim di Myanmar. Bahkan rasa sakit itu seakan menuntunnya, entah ancaman atau justru sebait do’a yang terlontar, “dengan izin Alloh pula kami bisa memperlakukan anda dan rakyat anda seperti negara sosialis komunis Rusia yang hancur berkeping-keping atau Amerika yang sebentar lagi akan binasa (Insya Alloh).
Memang. Bencana yang melanda sebagian kota di Amerika itu, New York City, Washington, Baltimore dan Philadelphia, serta-merta tidak dapat kita amini sebagai bentuk ‘kemarahan’ Tuhan sehubungan dengan surat tersebut. Namun, ketika Sandy meludahi Amerika juga tidak dapat kita abaikan satu dari sekian banyak letupan do’a orang-orang yang teraniaya, sebagai bentuk ‘kebetulan’ dari serentetan faktor “X” dari Tuhan bagi manusia.
Manusia memang diarahkan islam untuk mempelajarinya secara menyeluruh dan utuh, utuh yang menyeluruh. Sebab hanya dengan totalitas, segala sesuatu tidak hanya memiliki nilai kwantitas tetapi juga kwalitas. Tidak hanya pada segi kebendaan, produk, namun juga prilaku, sikap.
Diam dan tenangnya orang islam dalam ‘lingkar-tuduh’ terorisme memang butuh penjelasan dan kejelasan. Tidak dapat kita menulainya sebagai ironi ‘ketakutan’ atau juga ketidak-pedulian sesama muslim maupun meng’iya’kan kedzaliman karena keterpaksaannya. Sebab prinsip dasar islam dalam rangka hidup bermasyarakat mengajarkan;
- Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Sebagai ajaran yang memiliki prinsip rahmatan (penyayang) bagi kehidupan alam semesta ini. Tidak hanya untuk manusia akan tetapi juga bagialam. Aplikasinya dapat kita buktikan dengan adanya larangan merusak lingkungan, yang diwujudkan melalui sikap ‘ihya’ul amwat´(hak guna pakai) pada lahan yang nganggur, larangan memubazirkan lahan, barang milik sendiri.
- Mengecam kekerasan. Hal ini dapat kita lihat secara tegas dengan ancaman nabi, bahwa “al qo-til wal maqtul finnar” (orang yang membunuh dan yang terbunuh, sama-sama dineraka).
- Larangan dzolim, aniaya. Seperti diantaranya menuduh tanpa bukti (fitnah), merampas hak orang lain (mencuri, memperkosa, intimidasi),dan banyak ajaran prinsipil lainnya.
Bahkan ketika menderita sakit yang tidak berkesembuhanpun islam tetap mengajarkan yang terbaik melalui do’a yang diajarkan nabi, ‘Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku’.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana bila do’a itu dibaca Ust. Abu Bakar dan semua orang islam yang merasa di dzolimi dengan tuduhan terosisme ataudalam bentuk aniaya apapun, sehingga menimbulkan rasa sakit yang berlebih dan berkepanjangan, sebagai senjata pemusnah masal? Yakni berupa do’a yang berbunyi, ‘Ya Allah, hidupkanlah “KAMI” jika hidup ini lebih baik bagi “KAMI” dan matikanlah “KAMI” jika kematian itu lebih baik bagi “KAMI”?
Kiranya tidak mustahil, Tuhan mewujudkan segala sesuatu melalui do’a-doa hambaNya, sebagai bentuk terkabulnya do’a itu sendiri. Bukankah do’a adalah senjata bagi mu’min, orang islam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H