Mohon tunggu...
Abu Muhammad Ibrahim
Abu Muhammad Ibrahim Mohon Tunggu... -

"Apa yang tersisi bagiku: satu hati yang letih dan pemberang; kehendak yang gelisah; sayap yang lemah; Tulang punggung yang patah" (Friedrick Nietzsche dalam Zarathustra"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Syiah Kuala dan Tsunami

31 Desember 2012   09:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:44 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syiah Kuala bukan manusia biasa. Dia tidak boleh dianggap sembarangan. Nama lain beliau adalah Syaikh Abdurrauf As-Singkili. beliau lahir di Singkil, Aceh. Beliau adalah anak dari Ali Al-Fansuri, ulama keturunan Saidina Ali yang beberapa generasi mentap di Persia, lalu berangkat sekeluarga Al-Fansur ke Pasae atas permintaan Sayyid Malik As-Salih untuk membuka lembaga zawiyah mengajarkan putra-putri Pasae untuk belajar agama secara mendalam. Di lembaga yang dikenal dengan sebutan dayah di kawasan Blang Pria, Aceh Utara sekarang, tidak hanya mengajarkan putra putri Pasae saja tetapi dari seluruh Aceh, Malaysia, Indonsia, Thailand, Burma, Singapura, Brunai Darussalam, India, Philipina, dan lainnya.

Para pelajar dari seluruh negeri yang telah mendapatkan dari dayah Plang Priya membuka lembaga pendidikan serupa di tempat asal masing-masing. anak keturunan Fansuri selain melanjutkan mengajar di Dayah Blang Priya juga pergi ke mana-mana untuk membuka dayah yang sama. Hingga pada kisaran abad ke-15, dua bersaudara Fansuri yang telah memperoleh ijizah dari Dayah Blang Pria pergi mengembara ke pantai selatan Sumatra. Tepatnya di kawasan Singkil, masing masing mereka membuka dayah di tempat berbeda di dalam kawasan tersebut. Karena begitu besarnya antusias warga pantai barat mengirim anak-anak mereka untuk belajar di kedua dayah tersebut, sehingga semua warga dalam radius yang luas terpengaruh oleh lingkungan, budaya dan adab yang berlaku dalam lingkungan dayah.
Begitu besarnya pengaruh keduah dayah Fansur bersaudara sehingga orang-orang di luar Singkil menyebut singkil sebagai Fansur karena semua tahu bahwa di wilayah itu ada dayah yang sangat dan pimpinannya bernama Abu Fansur. 'Abu' adalah sebutan bagi ulama-ulama. Sementara orang-orang Singkil sendiri bila keluar wilayahnya, mereka lebih dikenal sebagai orang Fansur.
Dayah yang satu dipimpin oleh Hamzah, yang dikenal sebagai sufi pengikut Ibn Arabi dan dayah satunya lagi dipimpin oleh Ali. Ali memiliki anak bernama Abrurrauf. anaknya itu setelah menyelesaikan pendidikan agama dasar di dayah yang dibangun oleh ayahnya pergi ke Dayah Blang Piya, yang juga milik keluarga besarnya. Setelah mendalami ilmu-ilmu tinggi seperti mantiq dan tasawuf di Blang Priya, Pasae, berlabuh ke Arab untuk memunaikan ibadah haji. di Tanah Haram, kabar kedatangan Abdurrauf (yang dikenal ulama di sana sebagai putra dari ulama Pasae) sampai ke telinga imam besar Masjidil Haram. Imam Besar mengundang Abdurrauf. Dalam diskusi mereka, Abdurrauf menjadi semakin tertarik untuk menetap dulu di Makkah untuk menimba ilmu. Sebelumnya Abdurrauf memang pernah menyampaikan niatnya di Fansur dan di Blang Priya untuk sekaligus menuntut ilmu dalam perjalanan hajinya.
Setelah menimba ilmu dengan gigih hampir sepuluh tahun, masyarakat dalam kerajaan Aceh Darussalam mengiba supaya beliau dapat ke Kutaraja dan menjadi pemimpin agama bagi mereka. Kondisi keberagamaan masyarakat Aceh Darussalam yang terus dilanda keresahan karena kebingungan dalam polemik perdebatan mazhab teologi dan falsafi menggugah hati beliau. Abdurraufpun ke Kutaraja. Di sana beliau di sambut hangat. para petinggi kerajaan mengadakan syukuran semacam pesta tau dikenal dengan peusijuk. Abdurrauf lebih dahulu mencari informasi detail tentang polemik masyarakat tersebut yang telah dia rasa sejak dia di Blang Priya dan berita itu menjadi hangat dan sampai ketelinganya saat masih menimba ilmu di Makkah.
Abdurrauf adalah ulama yang sangat dalam agamanya. Dia telah menempuh ajaran tinggu dalam tarikat dan tasawuf. Karisma beliau disegami siapapun termasuk para petinggi kerajaan. Saat beliau disaulat menjadi mufti kerajaan Aceh Darussalam, seolah-olah polemik antara teolog dan filosof yang telah menumpahkan banyak darah, tidak pernah terjadi. Ketegasan beliau dalam menetapkan fatwa membuat semua kalangan puas. Bahkan jabatan tertinggi di kesultanan meski diemban oleh perempuan, tidak ada yang berani atau bahkan berfikir untuk mempertanyakan, apalagi mengkritisi.
Semasa menjadi mufti kerajaan, beliau mengarang banyak kitab agama. Salah satu karya beliau yang paling terkenal adalah tafsir Al-Qur'an dalam bahasa Melayu. tafsur tersebut adalah tafsir pertama dalam bahasa Melayu.
Syaikh Abdurrauf As-Singkili atau dikenal dengan Syiah Kuala yang merupakan keponakan dari Syaikh Hamzah Fansuri meninggal di Kutaraja dan dimakamkan di pesisir utara kota tersebut. beliau dimakamkan di kawasan sebuah dayah yang dibangun untuk mendidika para calon petinggi kerajaan dan anak-anak para hulu balang di seluruh mulim kawasan Aceh Darussalam.
Di tempat itulah ratusan tahun kemudian, tepatnya di komplek makam ulama besar tersebut diadakan sebuah pesta besar dilengkapi tarian telanjang bulat, minum-minum alkohol, kata-kata kasar dan kotor saling dilontar. Mereka larut dalam kesenagat hingga kesetanan. Mereka bergemibira karena dapat kembali ke jakarta dan tidur-tidur lagi dibarak karena meraka adalah sisa dari sasaran gerakan bersenta yang bergerilya. Betapa gembiranya mereka. Bukankan banyak teman-teman mereka yang telah dihiggap peluru badannya dan dihantar pulang ke kampungnya dengat tidak lagi bernyawa. Mereka kuat, mereka tangguh, mereka sadar itu, karena itu mereka berpesta.
Tetapi lam tidak bisa ikut berpesta dengan mereka. Alam memiliki hukumnya sendiri. Masaru Emoto, ilmuan Jepang telah membuktikannya. Energi positif dengan energi nagatif tidak bisa dihumpun bersamaan. Di sana berbaring jasad wali Allah. Itu energi positif. Orang-orang yang berziarah ratusan tahun, membaca zikir, mengaji Al- Qur'an dan bershalawat juga energi positif. Tetapi pada malam itu dipaksakan energi negatif dalam kadar tinggi sehingga terjadi khaos besar-besaran di muka bumi.
Mereka yang berpesta dapat luput dari senjata separatis, tetapi mereka tidak sempat menghindar dari gelombang laut dengan ketinggian lima belas meter dengan kecepatan limaratus kolometer per jam. Padahal mereka telah coba dibangunkan dengan goyangan sepuluh skala richter. Tetapi pengaruh alkohol yang tinggi dan air tulang yang telah habis terpancar kepada ruang rahiasia yang bertelanjang dan menari-nari tadi malam membuat mereka begitu lemas.
Seorang kakak misterius telah memperingatkan, tetapi tidak diindahkan.
''Jangan berhuru-hara di sini.''

Memperingati tsunami delapan tahun
Marilah kita hantarkan Al-Fatihan kepada seluruh korban tak berdosa akibat ulah mereka yang berpesta.

Jakarta, 25 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun