Mohon tunggu...
Abu Muhammad Ibrahim
Abu Muhammad Ibrahim Mohon Tunggu... -

"Apa yang tersisi bagiku: satu hati yang letih dan pemberang; kehendak yang gelisah; sayap yang lemah; Tulang punggung yang patah" (Friedrick Nietzsche dalam Zarathustra"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Syiah, Wahabi: Rumah Indonesia

12 Mei 2012   01:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perdebatan Sunni Syiah juga adalah metamarfosis daripada perdabatan teolog dan filsuf. Bagi masyarakat Indonesia, karakter keberagamaan teologis memang lebih disukai sebab tradisi masyarakat kita adalah perbudakan dan pentaklidan. Karakter masyarakat Indonesia sejak dulu memang sukanya pada hal-hal yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, gaya filosofis memang cenderung ditinggalkan. Penolakan terhadap syiah oleh masyarakat Indonesia secara empiris berangkat dari pencitraan-pencitraan yang buruk atas syiah melalui berbagai media. Tetapi secara apriori, masyarakat kita memang tidak menyukai hal-hal yang bersifat rasional seperti tradisi filsafat yang berkembang di dalam masyarakat syiah.

Saya ingin menegaskan kembali bahwa syiah yang berkembang di Nusantara oleh pribumi yang semakin menggeliat ini tidaklah sama dengan syiah yang kita kenal buruk citranya. Masyarakat Indonesia bisa mengadopsi tradisi intelektual dan rasional yang memang menjadi ciri syiah. Aceh dapat dijadikan contoh daripada jejak waris daripada Muslim Persia yang memang gaya beragama dan kebudayaan nya bercirikan ''Syaiah''. Tapi istilah 'Syiah' barulah belakangan dipopulerkan.

Bila ditinjau dari kesukuan, syiah memang mudah diterima masyarakat Iran yang memang sudah punya karakter rasional-intelektual sejak zaman kuno. Zarathusta yang sangat terkenal itu dapat dijadikan perwakilan dari sejarah ini.

Karakter Persian ini berbeda jauh dengan karakter masyarakat Arab yang cenderung menyukai hal praktis dan pragmatis. Karakter bawaan seperti ini yang membuat mereka gemar menjadi pedagang. karakter demikian juga secara bawah sadar membentuk cara masyarakat Arab dalam beragama. Kita dapat mengambil contoh kecil perbandingan antara Umar dengan Salman. Untuk menemukan agama Islam, Umar cukup dengan satu irama nyanyian, sementara Salman harus melalui proses petualangan, kontemplasi serta pengorbanan. Pengorbanan ini dia lakukan supaya dia dapat membuktikan sendiri Kebenaran itu tanpa melalui estimasi tetapi melalui rasionalitas dan empiris. Karakter orang Persia memang tidak begitu saja menerima sesuatu kecuali rasional dan dapat diuji.

Pribumi Nusantara yang menganut karakter lembut dan praktis tidak suka dengan hal-hal yang memeras energi untuk banyak berfikir. Taklid dan dogmatik memang sudah lumrah di sini. Sikap seperti ini menjadikan Nusantara kita menjadi komunitas paling unik di seluruh dunia.

Hal-hal yang menjadi pertentangan, perdebatan dan bahkan pertentangan yang sampai menimbulkan pertumpahan darah bagi bangsa lain, menjadi hal biasa, dan bahkan dipersandingkan bersama di sini. Bayangkan, ketegangan antara filsuf dan mutakallim yang melahirkan dendam kesumat di negeri orang, di negeri kita tidak dianggap hal besar. Kitab  'Bidayatul Mujtahid' dan 'Ihya' Ulumuddin' dijadikan pedoman secara persama di lembaga pendidikan kita, dikaji dan dipelajari secara bersamaan. Padahal di negeri orang sana, pecinta Al-Ghazali membakar kitab-kitab karya filsuf dan sebaliknya.

Pengalaman serupa pernah juga terjadi di Nusantara kita. Kitab-kitab Hamzah Fansury banyak dibakar atau dimusnahkan. Tetapi hal ini lebih diakibatkan karena hasrat kekuasaan seorang provokator asing bernama Nuruddin Arraniry. Padahal, di tengah masyarakat saat itu, iklim filosofis jauh lebih mengakar dan berkembang. Salah satu alasannya karena di Aceh Darussalam, spirit Persia masih tetap ada, bahkan hingga kini.

Saya kira kita tidak perlu terlalu reaksioner terhadap Syiah dan Wahabi atau aliran-aliran lain yang berkembang di tengah masyarakat kita. Semua mazhab, semua aliran pastinya akan berproses, berasimilasi dengan Kebudayaan kita sehingga secara perlahan semua aliran itu dapat bersanding, bersama saling menguatkan sebagai Rumah Indonesia Raya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun