"Berulang kali dalam kehidupan dan perjalananku,aku melihat langsung kekuatan luar biasa dari jiwa manusia." (Nick Vujicic, motivator yang hidup tanpa lengan dan tungkai)
Senja kian menua. Matahari tertatih merayap ke sudut cakrawala. Lalu tergelincir perlahan di persimpangan malam. Andi mulai menggelar dagangannya. Pemuda berusia 20 tahun itu menata satu persatu bungkusan serbuk kopi dalam etalase. Ada kopi klotok, kopi nusantara: kopi aceh, toraja, wamena, jawa rabika, bali kintamani, dan lampung.Â
Bagi penggemar coklat, ia menyediakan coklat creamer dan cheeses. Saat menikmati secangkir kopi, sembari bercengkerama, seseorang terkadang butuh kudapan. Pisang bakar dan sosis bakar tersedia di sana. Pun jika tiba-tiba perut keroncongan. Ada mie rebus dan mie goreng yang siap disajikan.
Ia tak bisa melakukan semuanya sendirian. Lantaran kedua kaki yang dia miliki hanya sebatas paha. Selebihnya telah diamputasi akibat kecelakaan. Maka, ia pun merekrut salah satu saudaranya yang kebetulan tak punya pekerjaan. Agus namanya. Lelaki bertubuh subur itu membantu "mengeksekusi" hal-hal yang sulit dilakukan oleh Andi. Termasuk menyiapkan air, menggelar tikar, dan menata empat buah meja kayu. Ya, hanya empat buah. Andi tak punya cukup modal untuk membeli lebih banyak lagi.Â
Apalagi untuk menyewa tempat. Di beranda rumah neneknya ia buka kedainya: Andi's Cofee. Buka malam hari. Siangnya, ia berjualan pulsa. Keuntungan yang didapatkan tidak banyak memang. Namun, setidaknya bisa untuk makan sehari-hari. Membantu biaya hidup sang nenek juga tentunya.
Malam itu, usai mengunjungi bazar buku, aku mampir di kedai kopi Andi. Masih sepi. Kami berbincang-bincang. Tentang kopi dan mimpi-mimpi. Aku lalu pesan secangkir kopi klotok. Andi segera meraih papan seluncur (skateboard) kayu di sampingnya. Sangat gesit. Ia memang terbiasa menggunakan peranti itu untuk berjalan.Â
Papan seluncur biasa. Hanya saja keempat rodanya yang semula berbahan plastik diganti roda etalase. Biar lebih kuat, katanya. Ia pernah mendapatkan bantuan kaki palsu dan kursi roda. Dua kali. Pertama dari Dinas Sosial Kabupaten Brebes. Kedua dari Kick Andy Foundation kerja sama dengan Polres Brebes. Andi bersyukur. Namun, dalam melakukan pekerjaan, ia merasa lebih gesit menggunakan papan seluncur ketimbang kaki palsu maupun kursi roda.
Andi tampak serius meracik kopi. Tak seberapa lama, pesanan siap disajikan. Agus, karyawannya, segera mengambil dan menyuguhkannya untukku. Secangkir kopi klotok panas meruapkan aroma khas. Sungguh menggugah selera. Perpaduan antara serbuk kopi, cokelat, dan sedikit susu kental. Diramu sedemikian rupa. Aku reguk perlahan. Aduhai nikmatnya.
Andi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia tak mau menjadi seorang pemalas. Setiap pemalas dibenci orang, dan tak ada rezeki yang diantar tanpa upaya. Ia pun datang bersama kawan-kawannya. Membawa kamera digital. Moment demi moment diabadikan. Hasil jepretannya ia tawarkan kepada para peserta didik di situ. Begitulah upaya Andi membidik peluang rezeki.
***
Andi senantiasa berupaya melampaui segala keterbatasannya. Baginya, itulah salah cara mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Sebelum memiliki kedai kopi, Andi sempat berjualan telor asin. Jika bulan puasa tiba. Ia serasa mendapatkan berkah. Khususnya seminggu sebelum lebaran. Arus mudik di jalur pantura begitu deras. Di saat-saat seperti itulah dagangannya laris manis. Ia tak lupa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Hari demi hari ia lalui dengan suka cita. Meski berbuka puasa dengan lauk seadanya.