Desa yang dikenal energik dan inovatif, baru saja meluncurkan program besar: "Swasekada" atau Swasembada Kedaulatan Pangan Nasional. Dengan semangat membara, ia menyerukan agar seluruh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Konoha turut menyukseskan program tersebut, terutama di sektor pertanian. Namun diluar perhitungannya, keputusan besar ini akan membawa kisah unik yang tak terlupakan.
Pak Driyan, MenteriDalam rapat perdana, Pak Menteri menekankan pentingnya fokus pada pertanian lokal. Pesan itu pun sampai ke setiap kepala desa di 75 ribu desa yang tersebar di negeri ini. Namun, tanpa panduan spesifik tentang komoditas apa yang sebaiknya ditanam, seluruh desa, dengan asumsi sama, memutuskan menanam bayam. Komoditas ini dianggap mudah tumbuh, bernutrisi tinggi, dan cocok untuk mendukung program makan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintah.
Dua bulan berlalu. Hasil kerja keras BUMDes mulai terlihat. Bayam menghijaukan ladang-ladang di seluruh pelosok negeri. Di desa Padi Mekar, tempat Pak Driyan memilih untuk menghadiri panen raya simbolis, mirip jaman Pak  Presiden Tohar dulu, suasana penuh sukacita. Ribuan ikat bayam dipanen dengan cepat oleh para pekerja sambil diiringi sorak-sorai warga.
Pak Driyan berdiri gagah di tengah ladang bayam yang luas. Di hadapan kamera tim media sosialnya, ia berkata penuh kebanggaan, "Lihatlah betapa melimpahnya hasil panen kita! Ini bukti bahwa program Swasekada berhasil. Seluruh rakyat Konoha kini punya akses pada sayuran bergizi."
Namun, di tempat lain, suasana tidak secerah itu. Di desa-desa lain, ribuan ton bayam mulai menumpuk. Gudang penyimpanan penuh, sementara pasar lokal kebingungan bagaimana menampung hasil panen sebesar itu. BUMDes yang awalnya bersemangat dengan program ini, kini mulai saling menghubungi, mencari pembeli untuk bayam-bayam yang terus menumpuk.
"Pak Kepala Desa, kita panen 20 ton hari ini. Siapa yang mau beli?" tanya seorang direktur BUMDes di Desa Jagung.
Kepala Desa hanya menggaruk kepala. "Coba telepon desa sebelah, siapa tahu mereka mau."
"Pak, mereka juga punya bayam sepuluh kali lipat lebih banyak dari kita!" jawab sang Direktur, putus asa.
Kejadian serupa terjadi di seluruh penjuru negeri. Desa-desa yang saling mengandalkan, kini menghadapi kenyataan bahwa bayam mereka tak ada yang membeli. Pasar lokal jenuh, sementara infrastruktur distribusi antar-daerah belum siap menghadapi skala produksi yang seragam ini, pun program pemerintah makan bergizi belum pula menyerap produksi melimpah ini.
Di Desa Padi Mekar, seorang direktur BUMDes berani bicara di hadapan Pak Driyan saat sesi diskusi bersama warga.
"Pak Menteri, bayam kami memang melimpah, tapi siapa yang akan membeli semua ini? Desa tetangga juga panen bayam. Kalau begini terus, semua akan sia-sia,mau dikemanakan hasil panen ini" katanya.