Sudah beberapa lama kong  Hen sakit, komplikasi beberapa penyakit, dan sudah pernah koma ber-kali2. Dia terbaring lemah di rumah sakit mewah, dengan  selang  untuk membantu pernafasan terhubung ke hidung,  di tenggorokan, dan selang infus di kedua tangannya.
Hari itu  kondisinya  semakin drop, kong Hen sudah tak mampu bicara, dan dokter juga sudah memberikan peringatan waspada satu, maka semua anggota keluarga berkumpul mengelilingi tempat tidur, tak terkecuali Paul penasehat  spiritual keluarga itu ada juga disitu.
Paul memimpin do'a, berada dekat kepala kong Hen. Tiba2 mata kong Hen terbuka, membuat semua terkejut.  Sambil dengan nafas tersengal  kong Hen menggerakkan tangannya yang mengisyaratkan "ingin menulis". Serta merta Henry si anak sulung memberikan kertas dan bolpen pada ayahnya. Dengan susah payah, kong Hen menggoreskan bolpen, dan  . . . . . . . . .  kemudian lemaslah, kong Hen meninggal.
Merasa kurang etis langsung membacakan surat wasiat di saat genting begitu, Paul langsung menyimpannya kedalam dompetnya.
Paul tetap berada dekat kepala si mayat, sebagai penasehat spiritual dia berusaha tabah, dan tidak larut dengan kondisi keluarga  yang mulai menangis histeris.
Beberapa hari kemudian, selesai pemakaman, dan keluarga ketika masih berkumpul. Paul ingat bahwa dia masih menyimpan "surat wasiat" itu di dompet. Dia fikir  inilah saat yang tepat untuk  membacakannya di depan sanak family kong Hen.
Langsung di depan mike, Paul mengambilnya dari dompet, membuka dan membaca "surat wasiat", Â begini :Â . . . ."paul mingir, kamu nginjek selang nafasku".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H