Tulisan ini sama sekali tidak ada maksud sara.
Jaman aku  kuliah  (kayaknya sampai sekarang)  di kampus satu ini memang serasa tidak seperti di Indonesia. Benar, kita yang pribumi sangat minoritas di kampus ini, seangkatan ku yang 137 orang itu, hanya 6 orang yang pribumi (4 jawa, 2 flores), yang selebihnya adalah saudaraku  keturunan Cina/Tionghoa dari seluruh nusantara. Benar2 serasa tidak seperti di Indonesia, tetapi lebih serasa di Singapore. Mahasiswa kampus ciamik ini modis2, maklum mayoritas mereka tajir. Begitupun para pegawai kampus, juga  para dosen mereka mayoritas juga warga keturunan Cina, sebagian masih kuingat nama2  mereka, pak Bisatya, pak Koentjoro, pak Kris, pak Johan pak Samuel, bu Chistin, dan lain2.
Kampus elit (kata masyarakat) , yang tarif  uang masuk dan uang kuliahnya mahal, para student nya banyak bermobil,  sampai2 plataran parkir  di kampus  tidak muat, makanya banyak warga sekitar kampus yang membuka lahan sebagai tempat parkir mobil di halaman rumah mereka. Bahkan ada juga yang membuka lahan kos mobil, artinya mobil parkir dan menginap di lahan itu,  drivernya kos juga dirumah itu atau bisa jadi driver kos ditempat lain, yg karena di kos nya tak ada tempat mobil maka mobilnya ngekos di kos an mobil.
Sering kami yang pribumi, merasa keciiil dikampus megah ini, kami menjadi sering merasa asing di kampus, maklum yang kami rasakan mereka mahasiswa/wi Tionghoa sepertinya merasa ngga nyaman (mungkin) berteman dekat dengan kami. Hanya segelintir diantara mereka yang benar2 akrab dengan warga keturunan pribumi ini. Itupun biasanya terbatas  mereka yang sama2 menjadi pengurus organisasi  intern kampus. Biasanya kami  yang "indonesia" menggerombol tersendiri terpisah dari riuhnya warga "Singapore". Baik itu saat di ruang kuliah, ngobrol2 di halaman kampus, ataupun di kantin, "merasa"  di kucilkan  itu sangat kami rasakan.
Konon saat itu  dari Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) ada  syarat perbandingan jumlah mahasiswa pribumi dan non pri harus berbanding 30% dibanding 70%. Persyaratan ini tidak pernah dicapai. Yang ada bahwa mahasiswa non pri lebih dari 90%, alias yang pribumi kurang dari 10%  dari jumlah mahasiswa.  Maka oleh almamater dan yayasan pengelola kampus, kami yang pribumi "dimanfaatkan" benar2 oleh mereka. Hampir setiap kegiatan baik intern atau apalagi  yang tereksposed keluar selalu sebanyak mungkin mahasiswa pribumi dilibatkan,  sebagai panitia, sebagai pengurus perijian lah , dsb dsb. Dengan demikian  kami  menjadi lebih dekat ke semua Dekan, ketua jurusan, bahkan dengan pembantu rektor terutama purek urusan keahasiswaan, keuangan, orang2 yayasan. Kami jadi mudah hampir disegala urusan di kampus, bahkan  kami sering mendapatkan  atas rekomendasi para bos2 kampus itu, hampi setiap kegiatan yang menyangkut biaya, bagi kami yang pribumi selalu bayar biaya yang lebih murah. Dan ini sudah menjadi budaya saat itu, tarif khusus untuk pribumi aktifis kampus. Ada win2 yang terjadi, kami dimanfaatkan oleh kampus, dan kondisi ini kami manfaatkan. Adil toh.
Hanya di semester awal aku harus membayar uang kuliah agak mahal (meski sudah lebih murah dari tarif yang berlaku), selanjutnya aku hanya  dengan modal nilai rata2 C saja sudah bisa mendapatkan beasiswa dari almamater. Semakin tinggi nilaiku, semakin murah biaya persemeter yang harus ku keluarkan.
Oh ya, bagaimana kami yang pribumi dan pas2an ini berani dan mampu bayar di kampus mahal ini?  Kami sudah tahu bahwa sebenarnya kampus ingin memasukkan sebanyak mungkin calon mahasiswa pribumi  dalam rangka ingin mengejar  persyaratan KOPERTIS (disebut diatas).  Maka  sejak awal masuk, kami sudah beranikan diri mengahadap di rektur keuangan, disana kami negosiasi kami  sampaikan kondisi kami, hasilnya  kami bisa mendapatkan kemurahan  (harga diskon) serta kemudahan (di cicil). Kemudahan2 ini kami alami sampai kami lulus. Jangan bilang2 ya, biaya ujian akhir ku dulu ditalangi  oleh Purek 3 urusan Kemahasiswaan, karena sampai batas akhir hari pembayaran,  uangku belum cukup  untuk membayarnya, baru  setelah aku diwisuda, uang pinjaman itu aku kembalikan. Dan  beliau masih sempatkan  bertanya : "bener tah, situ bener2 sudah ndak butuh uang ini, kalau memang masih di butuhkan ndak apa2 lho dipakai saja dulu . . . . . . . . . . ?" duh melas banget.  Sungguh aku ga akan bisa lupakan  beliau.
Dalam keseharian, terutama saat ada tugas studio, (tugas merancang yang harus dikerjakan di kampus), biasanya studio memakan waktu 3 minggu sampai satu bulan. Karena ruang studio berada dilantai empat, dan kantin jauh diujung kampus untuk menghemat waktu dan tenaga  setiap hari  kami membawa bekal hidup (makan minum), kalau kertas dan  alat gambar tentu saja kami pasti membawanya.  Saat2 istirahat makan siang, ini yang paling menyenangkan para peserta studio. Banyak nonik2 yang datang membawa kiriman  makan untuk  pacar  mereka. Tak sedikit  para asisten rumah tangga dan sopir yang (oleh ortu) di tugaskan mengirim makan siang mereka tiap hari. Suasana studio berubah seperti kafe, musik diputer agak lebig jreng, dan semua menghadapi makanan masing2 sambil guyonan. Biasanya keakrapan terjadi di situ, tukar menukar lauk, minta sambel, join minum dsb, senang sekali. Heh e, kami yang pribumi ini kebanyakan membawa bontotan nasi bungkus atau nasi box bekas es krim  dengan menu standar kemewahan kami, yaitu telor dadar dan kecap. Kalau lagi beruntung  ada juga teman2 singaporers  yang kusus mereka bawakan untuk kami, "ini ga pakai babi kok, silahkan . . . . . . . . . . .", yang begini kami mengistilahkan "taman gizi", maklum ini menu khusus yang tidak tiap hari kami temui, tse tse . .. .. kamsia.
Banyak yang unik2 di kami kala itu. Misalnya ketika tugas merancang di kumpulkan, dari deretan pajangan maket (maquet) tugas2 kami, dengan jelas terlihat mana maket mahasiswa pribumi dan mana maket milik para "singaporers". Gampang nyari bedanya, maket yang materialnya murahan (karton, plywood, steerofoam) pasti milik kami, sedangkan yang  bahan nya plastik maket, kayu balsa,  dan  di lengkapi box kaca  pastilah milik mereka. Tetapi tak mengapa, maket bobot nilainya kecil kok, hanya 10 persen, kalau misalnya nilai penyajiannya beda dua angka saja masih ga ngaruh  di nilai akhir (begitu kami menenangkan diri), dan ternyata memang nilai kami masih bisa bersaing di mata kuliah paling bergengsi di jurusan kami ini.
Masih banyak cetatan di kampus singapore yang bisa dibagi disini, kalau memang masih diminati nanti bisa sambung lagi, to be continued lah ya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
abu kemal,surabaya, mmxii