Politik uang masih mewarnai jalannya Pemilu, ia turut menodai proses demokrasi kita. Namun upaya penyelesaiannya masih terfokus di pendidikan politik penyadaran. Sedangkan yang memanfaatkan sesungguhnya menyadari hal itu.Â
Di indonesia sendiri, politik uang berada diurutan ketiga teratas di dunia. Dibawah negara afrika, yakni Uganda dan Benin. Berikut pernyataan Burhanuddin Muhtadi dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar UIN Jakarta pada Rabu, 29 Nofember 2023 lalu.
Tidak mengherankan jika riset diatas demikian hasilnya. Sebab politik uang saat ini masih dekat dengan rakyat. Bahkan dinanti kedatangannya. Terutama kaum menengah kebawah yang jauh dari kata sejahtera, sangat perlu uang dan sembako walau nikmatnya hanya sesaat.
Melihat hal itu, tidak cukup kiranya jika sekedar mengandalkan pendidikan penyadaran, apalagi yang mau disadarkan adalah rakyat. Menjadikan rakyat sebagai subjek penyadaran sangatlah kurang tepat, bahkan tidak sesuai sasaran.Â
Rakyat sadar politik uang itu salah, namun jauh lebih menyadari bahwa rakyat dalam himpitan ekonomi. Ia lebih sadar akan desakan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Dan uang politik baginya meringankan, meski tak selamanya.
Dengan itu, yang perlu disasar untuk pendidikan penyadaran ialah caleg dan partai politik. Karena darinyalah politik uang itu bersumber, dan darinya pula pengedar utama politik uang beredar. Namun apakah caleg dan partai politik tidak sadar akan bahaya politik uang ?
Tingkat kesadaran tertinggi caleg dan partai politik kita adalah kemenangan untuk mendapat kekuasaan. Kesadaran itulah sehingga segala cara digunakan demi kekuasaan, tak mengenal halal dan haram. Meski MUI telah berfatwah haram bagi politik uang, walau belum disertai stempel penanda.
Dari orientasi berkuasa inilah, sehingga politik uang selalu jadi alat politik. Karena uang begitu memikat dan pesat membius, membunuh nalar sehat rakyat, kemudian rakyat tergiur. Namun cara ini sangat ambisius, jauh dari kata religius.Â
Menaggapi hal itu, Penyelenggara dan pengawas pemilu perlu meninjau lebih jauh. Masyarakat sipil pun demikian. Melihat politik uang sebagai noda dalam peristiwa pemilu semata, bukan sebagai prolem utama demokrasi pemilu kita.
Masalah utama ada di tubuh partai politik dan kadernya, sehingga yang perlu diperbaiki adalah mereka. Dipertegas komitmen perjuagan partainya, diperkuat kaderisasinya. Agar lahir kader berkualitas, sehingga partai tak lagi berharap pada yang berisi tas.