Tahun baru yang berbahagia ini, aku bernolsalgia dengannya meskipun tak bersamanya, tidak bertemu dngannya namun kembali kutemukan pikirannya. Yang teringat di Baurdillard, ialah tentang Simulacra dan Hiperrealitas-nya.
Perjumpaan dengan kedua buah pikirannya itu mendinamisir perayaan tahun baru ini, sekaligus memberi dorongan kepada saya untuk menuliskan sosok cinta pada padang yang tiada akhir itu, Ialah kepada Perisai Biru-Kuning yang megah itu.
Kali ini dan di tahun baru ini, Baurdillard adalah jembatan untuk mempertemukan rasa rindu dan kenyataan rendah saya yang tertutup karna bersembunyi dibalik fakta megah perisaimu.
Simulacra, Berlindung Pada Perisaimu
Menurut Baurdrillard, sejak zaman renaissance hingga kini, telah tiga kali mengalami revolusi Simulacrum. Revolusi Pertama, image masih merupakan representasi dari realitas. Kedua, image sudah menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna.
Pada tahap revolusi ketiga itulah disebut dengan simulacra. dan di sinilah eranya manusia postmodern. Di era ini, sebahagian mengistilahkannya sebagai Disruption Era atau era disrupsi, sebuah era dimana manusia telah tercerabut dari identitas dan akar kebudayaannya.
Simulacra ialah citra yang tampak, sebagai penanda yang diperlihatkan untuk menggantikan image "realitas" dalam diri manusia. Beginilah gambaran sederhana tentang manusia di masyarakat posmodern. Di mana manusia tidak lagi menjadi subjek, manusia berubah menjadi objek.
Manusia mensubjekan atribut yang ditempelkan, mensubjektifasi image atas dirinya melalui atribut yang dikenakannya. Atribut yang dikenakan direpresentasikan menjadi dirinya serta citra dirinya.
Inilah fase dimana manusia dikenal dengan masyarakat konsumtif, tidak lagi menjadi masyarakat produktif. Sebab untuk terlihat baik, manusia cukup mengkonsumsi atribut yang menandakan kebaikan, berpakaian rapi, berpenampilan sopan anda akan dinilai baik. agar terlihat hebat pun demikian, cukup menggunakan atribut yang menandakan kehebatan.
Begitupun agar terlihat alim, cukup memakai jubah, cadar, peci, jilbab dan penanda kesalehan lainnya. Masyarakat postmodern hanya menilai manusia dari apa yang dikenakannya bukan tentang apa yang dalam dirinya.Â
Baju perisaimu yang  saya kenakan adalah simulacra semata, yang mencitrakan saya sebagai sesuatu yang organisatoris, intelektual atau aktivis, meski fakta itu sebenarnya tidak ditemukan dalam image yang sesungguhnya tentang kenyataan diri saya.
Saya bangga menggunakannya, memperalatkannya agar terlihat keren, Â karna jika disebut organisatoris dan aktivis memang sangatlah keren, sebab itulah identitas selebritinya kaum ter"pelajar".