Penulis : Abu Kapota, Presidium Forum Mahasiswa Kota Makassar (For MAKAR)
Karl Henrick Marks (1818), pelopor sosialisme ilmiah asal jerman, atas keresahannya dalam melihat kondisi keagamaan yang pada saat itu melanggengkan status quo masyarakat, kemudian ia berkata "Agama itu candu". Agama olehnya dianggap sebagai penghalang bagi perubahan sosial sekaligus pelanggengan atas keadaan sosial yg timpang.Betapa tidak, peran agama saat itu oleh Marks hanyalah meninabobokan masyarakat dari ketertindasan dan mengekang perlawanan dengan agama sebagai bungkusnya. Agama hanyalah sebatas mengajarkan cinta kasih, Â namun tidak menjadi penggerak perubahan dan solusi persoalan.
Di indonesia, sebagian kaum agamawan seperti dalam historitas perjalanan Marks sepertinya bangkit kembali. Namun Kebangkitan mereka sangat berdeda dengan di indonesia saat ini, dulu agama mengajarkan cinta kasih tanpa melihat kondisi sosial (ketertindasan) yang membutuhkan spirit untuk perubahan, namun sekarang agama mengajarkan kebencian dan memaksakan kehendak dengan cara" hegemonik maupun represif dengan tidak melihat kondisi masyarakat yang heterogen. Dan tindakan-tindakan persekusi sering terjadi ditengah kondisi sosial yg sedang melangsungkan pembangunan.
Dinamika keagamaan seperti ini, disampimg mempunyai banyak perbedaan secara praksis keagamaanya seperti di zaman Marks, namun dalam sisi kesamaannya adalah agama sebagai candu bagi masyarakat.
Candu agama dalam konteks keindonesiaan ini saya sebut dengan hiperdogmatisme agama. Hiperdogmatisme agama dalam kaitannya dengan candu agama adalah sama" menjadi penghalang bagi perubahan dan kemajuan serta menjadi pemicu bagi langgengnya keadaan sosial yg timpang.
Hiperdogmatisme agama juga adalah melebih-lebihkan paham keagamaan dalam konteks pemahaman dan pemaknaan. Misalkan, agama yang seharusnya menjadi pedoman serta petunjuk kemanusiaan, malah menjadikannya seperti beban bagi kemanusiaan itu sendiri. Agama yang seharusnya menjadi rahmat bagi semesta alam dan manusia, Â malah menjadikannya seperti musibah dan ancaman bagi semesta dan kemanusiaan.
Kemarin lalu di kampung melayu, peristiwa bom yg diduga teroris simpatisan ISIS adalah salah satu contoh dari akibat hiperdogmatisme agama tersebut. Agama yang seharusnya untuk kedamaian dan kemanusiaan namun menjadi ancaman bagi kemanusiaan itu sendiri.
Inilah yang menurut Imanuel kant, bukanlah agama. Sebab agama baginya adalah ketika mengarahkan pada moralitas dan etika sosial, mengajarkan kebaikan dan kuhuran ditengah-tengah masyarakat.
Dalam konteks ini, sependapat dengan KH. Abdurrahman Wahid, Â "agama jangan jauh dari kemanusiaan". Dalam pemahaman seperti ini, agama seharusnya memberi kebaikan dan kedamaian, lebih jauh lagi, selain mengajarkan tentang kecintaan dan kasih sayang, agama harus menjadi spirit untuk memperjuangkan masyarakat yg tertindas dan menegakkan kemanusiaan tanpa ada yg didiskriminasi.
Agama yang inhren dengan kemanusiaan inilah yg seharusnya harus diperjuangkan bersama sehingga tercipta suasana masyarakat yang nyaman dan damai. Tentu untuk bisa mencapai pengetahuan ini, memerlukan pemahaman mendalam tentang substansi ajaran agama.
Memahami inti ajaran agama tidak saja sekedar memahami agama secara literal tapi nilai-nilai substansial dari setiap teks harus di pahami.
Dari itu, agama harus dikaji secara utuh dari Teks-konteks kemudian di kontekstualisasikan. Pengkajian ini disebabkan karna turunnya ayat-ayat agama tidak terlepas dari proses kesejarahan yang meliputi peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi dalam konteks diturunkan ayat agama tersebut. Dalam pemahaman seperti inilah sehingga tidak ada lagi proses penyeragaman agama atau proses autentitas yang mengabaikan konteks sejarah dan konteks saat ini.