Imam Syafi'i dalam ucapannya,Â
"Jiwa menangisi dunia, sementara ia mengetahui bahwa untuk selamat darinya adalah meninggalkan apa yang ada di dalamnya,"Â
Jiwa manusia kerap diliputi kegelisahan terhadap berbagai urusan dunia, seperti kehilangan harta, kedudukan, atau kesenangan yang sifatnya sementara. Imam Syafi'i mengungkapkan kontradiksi dalam hal ini: meskipun jiwa meratapi dunia, ia sebenarnya menyadari bahwa dunia tidak mampu memberikan keselamatan abadi. Tangisan tersebut mencerminkan keterikatan emosional manusia pada hal-hal yang fana, meskipun mereka mengetahui bahwa dunia bukanlah tujuan akhir.
2. Keselamatan dengan Meninggalkan Dunia
Frasa "meninggalkan apa yang ada di dalamnya" tidak berarti meninggalkan dunia secara fisik, melainkan menghilangkan keterikatan hati terhadapnya. Dalam ajaran Islam, sikap zuhud menjadi kunci untuk terbebas dari jebakan dunia. Zuhud bukan berarti menolak harta atau kenikmatan dunia, melainkan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekat kepada Allah, tanpa memprioritaskannya sebagai tujuan hidup.
3. Dunia sebagai Tempat Ujian
Imam Syafi'i menegaskan bahwa dunia adalah ladang ujian yang penuh dengan godaan. Segala hal di dunia, seperti kekayaan, status, dan kemewahan, hanya bersifat sementara dan akan lenyap pada waktunya. Keselamatan sejati tidak ditemukan dalam memiliki banyak hal duniawi, melainkan dalam menjaga hati tetap terarah kepada Allah.
4. Makna Kehidupan yang Sebenarnya
Nasihat ini mengajak kita untuk merenungkan apa yang benar-benar bernilai dalam hidup. Dunia, dengan segala daya tariknya, sering kali membuat manusia lupa akan tujuan utama, yakni akhirat. Imam Syafi'i mengingatkan bahwa keselamatan sejati adalah dengan menempatkan Allah sebagai prioritas utama, bukan terjebak pada kesenangan dunia yang sementara.
Dari sini, kita diajak untuk menjalani hidup dengan bijaksana, menjadikan dunia sebagai sarana kebaikan, dan memusatkan tujuan hidup pada akhirat yang abadi.