Mohon tunggu...
Money

Bank Syariah, Sebuah Kritik dan Harapan

22 Oktober 2009   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa memilih bank syariah? Kenapa saya, anda, dia, dan mereka memilih bank syariah? Jawabannya bisa bervariasi, namun mungkin sebagian besar akan menjawab, “Karena bank syariah lebih bisa dipertanggungjawabkan dan bebas riba.”

Benar, untuk itulah salah satu tujuan bank syariah didirikan, membebaskan umat dari jeratan riba. Bank syariah merupakan perwujudan semangat umat Islam yang menginginkan kegiatan perekonomian berjalan sesuai dengan aturan Islam. Bank syariah sebagai solusi pengganti bank konvensional.

Namun, layaknya anak kecil yang baru belajar berjalan, tentunya ada fase di mana dia musti jatuh bangun hanya untuk berjalan menghampiri ibunya. Sepertinya, demikian pulalah yang terjadi pada bank syariah di tahap-tahap awal perkembangannya sekarang ini, dia belum bisa mengaplikasikan aturan syariah yang sempurna dalam kegiatan operasionalnya.

Tentu bukan bermaksud untuk menghancurkan semangat kaum muslimin yang sudah susah payah merintis perekonomian syariah, namun sebuah kekeliruan harus cepat diperbaiki sebelum semuanya telanjur gosong ketika diangkat. Saya ingin mengangkat beberapa titik kritis yang perlu untuk kita benahi ke depannya demi kinerja bank syariah yang lebih baik.

Titik kritis pertama, mudharabah. Dia adalah bentuk kerja sama antara investor dan pelaku usaha, di mana investor menyediakan dana, pelaku usaha mengolahnya dalam usaha riil, dan bagi hasil ditentukan oleh kesepakatan awal. Lalu mengapa mudharabah menjadi masalah ketika dilakoni oleh bank syariah? Jawabnya, karena bank syariah memainkan peran ganda. Ketika nasabah menginvestasikan sejumlah uang, berarti seharusnya bank syariah berperan sebagai pelaku usaha. Namun kenyataannya tidak demikian, justru bank syariah memainkan peran nasabah, yaitu menyalurkan dana yang terkumpul ke usaha-usaha riil di luar sana. jadi bank syariah berperan sebagai pelaku usaha sekaligus investor, dan kegiatan menginvestasikan kembali ini dilarang oleh syariat.

Jika bank syariah menginvestasikan kembali dana yang terkumpul seperti ini, maka seharusnya perjanjian yang dilakukan antara bank syariah dengan nasabah hanyalah perjanjian utang piutang, di mana bank adalah si peminjam. Baru ketika bank menyalurkan dana tersebut ke usaha di luar sana, bank berperan sebagai investor. Nah, ketika tiba saat nasabah mengambil kembali uangnya (piutangnya), maka uangnya tidak akan bertambah sedikit pun. Lho kenapa? Iya, namanya juga utang piutang, jika nasabah mendapat uang tambahan, itu riba juga namanya.

Bila nasabah tidak tertarik dengan perjanjian utang piutang, ada solusi kedua, bank syariah harus memiliki usaha riil. Nasabah berperan sebagai investor, bank sebagai pelaku usaha, keuntungan usaha dibagi sesuai perjanjian. Ini baru namanya mudharabah antara nasabah dengan bank.

Atau, pilihan ketiga, bank hanya menjadi perwakilan nasabah ketika menyalurkan dana nasabah ke dalam usaha riil. Ini berarti, bank tidak berhak sedikit pun mengambil bagian dari keuntungan yang diperoleh nasabah. Ayo, pilih yang mana?

Oke, umpama sekarang kita anggap titik kritis pertama telah berhasil diselesaikan dengan baik antara bank nasabah, bank syariah, dan pelaku usaha di luar sana, maka kita masuk ke titik kritis yang kedua, yaitu kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang siap menderita kerugian. Kita tanyakan kepada bank syariah, apakah mereka siap mengalami kerugian ketika menjadi investor sebuah perusahaan yang pada akhirnya gulung tikar? Kita tanyakan pula kepada diri kita masing-masing, apakah kita siap mental jika investasi kita yang diolah bank syariah akhirnya berkurang, bukan bertambah? Jika kita siap dengan perekonomian syariah, kita harus siap pula menerima kenyataan bahwa usaha itu bisa untung bisa rugi.

Titik kritis ketiga, bagi hasil. Bank syariah menjanjikan bagi hasil bagi semua nasabah sesuai jumlah investasi mereka. Tunggu dulu, apakah semua dana yang terkumpul dari nasabah berhasil diinvestasikan oleh bank syariah ke dalam usaha nyata? Jika tidak semua dana tersalurkan, maka nasabah pemilik dana yang masih beku seharusnya tidak berhak mendapat bagi hasil. Kenyataannya, semua nasabah mendapatkan bagi hasil meskipun ada dana yang tidak dicairkan oleh bank syariah.

Tentu tidak semua bank syariah yang kita kenal terkena kesalahan-kesalahan yang telah kita bahas di atas, namun hal ini umum dipraktekkan oleh bank-bank syariah. Sekali lagi, beberapa poin di atas bukan kita maksudkan untuk menjelek-jelekkan bank-bank syariah yang sudah ada, kita justru bersyukur atas berdirinya mereka di tengah-tengah masyarakat luas, namun sekali lagi, ini bukan berarti kita lantas menutup mata dari kekeliruan yang mereka perbuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun