Mohon tunggu...
abu hikam
abu hikam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wirausahawan, sedang belajar berentrepreneur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Beda Ijtihad, Utamakan Ukhuwah

16 April 2014   23:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Menurut Imam al-Ghazali, selama seorang mujtahid itu menggunakan dalil-dalil, maka tidak boleh dikafirkan SALAH satu persoalan yang masih menjadi sebab sulitnya umat Ahlus Sunnah bersatu atau mudah terjatuh pada pemikiran sesat adalah belum dipahaminya antara perkara furu dan ushul dengan baik. Ketika perkara ushul diyakini sebagai furu’, maka yang terjadi adalah kesesatan. Seperti yang terjadi dalam Islam Liberal. Sebaliknya, jika perkara furu’ dianggap ushul, maka yang terjadi adalah penghakiman takfir, dan tadhlil  kepada saudara sesama Ahlus Sunnah. Harus dipahami bahwa ijtihad ulama tidak berada pada wilayah ushul tapi furu’. Dalam persoalan ijtihad dilarang menghukumi kafir atau sesat pendapat lain di luar jama’atul muslimin. Jika berdebat, maka perdebatan itu haruslah atas dasar penjagaan terhadap persatuan Islam dan kasih-sayang (uluffah). Adapun perselisihan dalam perkara furu jika diangkat sampai menimbulkan perdebatan panjang akan mengakibatkan perpecahan umat Islam. Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu’ akan membawa pada lingkaran kehancuran. Jidal dalam perkara tersebtu merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin  I/41). Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengatakan: “Coba perhatikan orang-orang yang senang mendebat lawan madzhab fikihnya pada masa sekarang, ketika lawan debatnya memenangkan maka orang-orang itu tersulut api dendamnya. Mereka merasa malu dan berupaya sekuat tenaga untuk menolak lawan debatnya dengan menjelek-jelekkan dan mencari-cari alasan agar kredibilitas lawan debatnya jatuh di hadapan masyarakat” (Ihya Ulumuddin I/44). Karakter tersebut tumbuh dikarenakan kerusakan hatinya yang terserang penyakit sombong, riya, ‘inad (menolak kebenaran), dengki, hasud dan lain sebagainya.  Padahal di kalangan imam mujtahid sendiri jauh dari sifat tersebut. Dikisahkan, Imam Syafi’i pernah duduk bersimpuh di hadapan seorang bernama Syaiban al-Ra’i. Simpuh imam Syafi’i mirip seorang anak kecil yang duduk di majelis seorang Syaikh, karena ketawadhu’an sang Imam. Lalu Imam Syafii tidak malu untuk bertanya tentang beberapa soal. Maka, ada yang heran dengan perilaku Imam Syafii dan bertanya; “Bagaimana orang hebat seperti kamu bertanya kepada orang Baduwi yang ilmunya lebih rendah dari kamu”? Imam Syafii menjawab; “Sesungguhnya, dia memiliki sesuatu yang aku tidak mengetahuinya?”. Karena itu, ketika berinteraksi dengan fikih, kita tidak boleh fanatisme buta. Seakan akan menempatkan posisi fikih itu sebagai ushul. Ini yang menimbulkan caci maki antar pengikut madzhab fikih. Yang diutamakan adalah persatuan dan kesatuan umat. Aa beberapa hal yang perlu dipahami tentang perbedaan hukum fikih. Bahwasannya perbedaan dalam hal ini bukan hal baru, akan tetapi telah ada pada masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang ikhtilaf ini merupakan fenomena yang syar’i. Yang tidak syar’i itu adalah iftiraq. Karena iftiraq itu konteksnya perkara haq, batil, dlalal dan salamah. Fenomena ikhtilaf fikih ini bukanlah bid’ah tapi memang begitulah adanya karakteristik syari’ah. Oleh sebab itu, selama fenomena ini masih dalam konteks ijtihad fiqhiyyah, maka ia diterima oleh syari’at dan para ulama salaf. Para ulama salaf dari kalangan Ahlus Sunnah mayoritas hanya berbeda dalam fatwa ijtihad fikih bukan akidah. Jika bedanya akidah maka urusannya adalah antara sesat dan tidak. Jika fatwa fikih persoalannya cuma pada penilain benar (shahih) dan salah (khata’). Ikhtilaf furu telah terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhtilaf ini sesuatu yang dianggap lumrah oleh generasi salaf. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. terkadang menjawab satu soal yang berbeda kepada para sahabat. Tapi bukan bertentangan. Oleh sebab itu, ikhtilaf dalam furu’iyyah sesungguhnya merupakan bagian dari keindahan Islam. Para ulama salaf tidak pernah mengajarkan untuk menafikan madzhab fikih yang berbeda. Mengikuti pada satu madzhab, merupakan keharusan, tapi dilarang untuk fanatik. Fanatik dengan memvonis madzhab fikih lainnya tidak benar dan sesat. Sebab, fanatisme madzhab fikih bukan etika ulama salaf, tapi karakter orang tidak berilmu. Fanatisme kepada madzhab fikih menimbulkan perpecahan yang tidak dikehendaki agama. Syeikh Dr. Wael al-Zard, ahli hadis dari Universitas Gaza Palestina, pada beberapa hari lalu berkunjung ke Surabaya berpesan bahwa, sebab hilangnya al-Quds adalah khilaf nya(persilisihan) para pencari ilmu terhadap masalah fikih, di mana umat Islam tidak mungkin bersatu dalam urusan fikih. Karena khilaf sangat kuat, di masa itu masalah qunut tidak qunut, masalah jahr atau sirr, masalah membaca al-Fatihah atau tidak, persoalan wajah wanita aurat atau bukan. Masalah-masalah ini menyebabkan stigma ahlu bid’ah, fasiq hingga tuduhan kafir. Di masa itu, perbedaan sangat menguat hingga sampai ke masjid. Hingga masjid memiliki mihrab 4, di antaranya mihrab untuk penganut Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi. Akibat khilaf fikih ini merembet dan menyebabkan perpecahan lebih besar. Bahkan antar penganut mazdhab tidak mau mengikuti (hidayatullah.com, 27/08). Pada Rabu, 29 Juli 2013 Dr. Al-Zard berkesempatan berceramah di hadapan aktivis muda Surabaya. Ia menasihati agar umat Islam memikirkan hal-hal besar yang sedang dihadapi kaum Muslimin. Menurutnya, orang yang kesibukannya hanya memperdebatkan urusan-urusan kecil furu adalah orang yang wawasannya sempit. Ia menganjurkan untuk mempelajari seluruh pendapat-pendapat para ulama, agar wawasan luas dan bijak dalam menghakimi. Pola-pola terburu-buru memperdebatkan hasil ijtihad ulama itulah yang dikritik oleh Imam al-Ghazali. Menurut Imam al-Ghazali, selama seorang mujtahid itu menggunakan dalil-dalil, maka tidak boleh dikafirkan. Karena kesalahan menggunakan dalil dan perbedaan pandangan politik bukanlah sebab seorang jatuh kepada kekafiran. Di sini yang diutamakan al-Ghazali adalah mendidik generasi-generasi Muslim agar mereka mengutamakan persatuan daripada fanatisme buta sehingga menyebabkan terpisahnya dari jamaah kaum Muslimin. Jika terdapat kesalahan ijtihad, maka persatuan lah yang harus diutamakan. Karena itu, hal yang paling penting saat ini bukan memperdebatkan persoalan ijtihadiyah, hingga sampai saling menyesatkan. Satu sama lain menghujat penuh nafsu. Akan tetapi hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah.* Oleh: Kholili Hasib, sumber : www.hidayatullah.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun