Hidup ini mengalir seperti air, jadi tidak perlu susah menghadapinya.
Ungkapan itulah yang sering dijadikan ‘filosofi hidup’ bagi sebagian orang. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai dasar bagi mereka manjalani hidup ‘apa adanya’ tapi tanpa niat untuk merubah apa yang ada disekitarnya. Dalam hidupnya, mereka cenderung memandang dirinya sebagai benda yang ada dalam aliran sungai yang deras.
Mereka merasa dirinya hanyalah satu hal kecil yang tidak punya arti besar bagi masyarakat maupun lingkungan disekitarnya. Mereka menganggap dirinyalah yang harus selalu menuruti kemana aliran sungai ini membawanya.
Dalam benak diri-diri mereka menganggap, “enak mengikuti aliran seperti ini, tidak capek. Daripada saya harus bersusah-susah menemukan aliran sayasendiri”. (saya dapat data ini dari hasil wawancara dengan beberapa orang). Mengikuti aliran yang mereka maksud adalah menjalani hidup yang santai-santai saja. Selama ia masih merasa bekerja, habis perkara. Mereka seakan tidak mau kepikiran tentang berusaha merubah sedikit arah aliran hidup mereka.
Mereka terlebih dahulu meremehkan kemampuan diri mereka. Padahal kalau saya secara pribadi menilai, mereka punya satu modal besar untuk merubah aliran hidup mereka, yaitu keuletan.
Nah, dalam konsep tokoh Rollo May, dikatakan bahwasanya ia melihat manusia pada sudut pandang masa kini yang nantinya akan menjadi tanggungan di masa yang akan datang. Pada masa hidup yang kini, Rollo May menganggapbahwa manusia sangat jarang yang berani menawar takdir. Manusia lari dari takdir mereka sendiri, mereka ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau bahkan lari meninggalkan tanggung jawab.
Rollo May adalah salah satu tokoh besar aliran eksistensialisme. Dalam sejarah hidupnya sebelumnya, ia pernah bertemu dengan Paul Tillich, seorang filsuf dan teolog eksistensial terkenal. Mungkin dari Tillich inilah Rollo May mendapatkan pandangan tentang eksistensialisme.
Lalu apakah makna sebenarnya eksistensialisme itu? Seorang tokoh memaknai bahwa eksistensialisme ini berarti keseibangan antara adanya kebebasan dan tanggung jawab. Syarat untuk mendapatkan dua hal ni adalah dengan menghilangkan kecemasan. Ketika kecemasan hilang, maka manusia akan merasakan bebean dari kebebasan dan rasa sakit dari tanggung jawab.
Rollo May dalam pandangan eksistensialisnya menggambarkan konsep dasar kepribadian manusia tersusun atas dua hal.
Pertama, Being-in-the-world.ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memeiliki kecemasan dalam dirinya. Ia khawatir akan dirinya, orang lain bahkan sampai pada lingkungannya. Manusia mengalami kecemasan ini berawaldari tidakbisanya ia memahami dirinya, tidak bisa menjalin hubungan baik dengn orang lain, dan merasa dirinyaterpisah dari alam.
Seharusnya, manusia harus mampu being-in-the-world. Harus ada didalam dunia. Ia tidak boleh merasa terasing bahakan oleh dirinya sendiri. Ia harus nampak jelas bagi dirinya sendiri, orang lain dan alamnya.
Kedua, Nonbeing. Seseorang yang telah being-in-the-world, maka ia telah sadar bahwa ia adalah makhluk hidup. Kesadaran ini, akan memicu timbulnya ketakutan akan kehampaan atau NonBeing. Bentuk-bentuk dari Nonbeing ini bermacam-macam. Mulai dari kegagalan usaha, bahkan sampai kegagalan kita untuk hidup, atau dengan kata lain, kematian.
Dalam pribadi kita, kita harus berani menghadapi NonBeing kita sendiri. Kita tidak boleh lari dari rasa takut akan kehilangan ini. Bila kita kalah dengan rasa NonBeing ini, maka kita akan kembali pada titik dimana diri kita menjadi defensif, menjadi orang yang ragu-ragu, lupa dengan diri kita sebenarna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI