Mohon tunggu...
Abu Dias
Abu Dias Mohon Tunggu... -

pernah bekerja di pt telkom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makanan Para Pemimpin

15 Januari 2014   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal ini setahun yang lalu, saya ‘mendaftar’ jadi kompasianer ….. tapi tulisan saya masih bisa dihitung dengan jari tangan ……. Malu juga sebetulnya, tapi ya nekad sajalah …

Ketika Jokowi mengundang rakyatnya untuk membahas suatu masalah, Jokowi menjamu mereka di satu rumah makan yang menyajikan masakan padang. Ketika Jokowi blusukan sendirian atau mengajak Megawati, mereka makan siang di warung tegal, yang tentu harganya tidak semahal makanan di rumah makan padang. Entah pencitraan atau apa, tapi di mata saya, Jokowi mencoba menghargai rakyatnya, dan mengingatkan Megawati akan nikmatnya makanan rakyat.

Bicara makanan pemimpin, saya jadi ingat cerita ibu saya (entah bagaimana dia mengetahui, tapi saya sangat mempercayainya). Dahulu setiap kali Bung Karno berkunjung ke Blitar, di malam hari dia suka menyelinap keluar ‘rumah’ ibunya. Hanya ditemani seorang pengawal, Bung Karno ‘andok’ makan sate angkringan keliling yang dijajakan oleh Kang Dul, orang Kampung Meduran. Di pagi hari, dia suka sarapan nasi pecel sunggi, yang dijajakan oleh Yu Ti, juga orang di Kampung Meduran. Sate Meduran dan pecel memang ‘tipikal’ makanan rakyat blitar, untuk makan malam dan sarapan, murah meriah tapi enak dan mengenyangkan.

Kemarin siang, saya baca ulang buku yang berjudul “Belajar dari dua Umar’ yang saya beli beberapa tahun lalu. Saat Umar ibnu Khaththab menjadi Khalifah, dia mendapat kiriman makanan dari Utbah ibnu Farqad, yang saat itu menjabat Gubernur Azerbaijan. Umar ibnu Khaththab segera membuka dan mencicipi makanan tersebut, dan bertanya kepada utusan : ‘Makanan apa ini?’. Jawab seorang utusan : ‘Makanan ini namanya HABISH. Makanan paling lezat di Azerbaijan’. Umar melanjutkan pertanyaannya : ‘Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bisa menikmati makanan ini?’. Si utusan menjawab dengan gugup : ‘Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya’. Wajah Umar ibnu Khaththab seketika merah pertanda marah. Dia segera memerintahkan utusan untuk membawa habish kembali ke Azerbaijan dan menulis surat kepada gubernurnya : ‘Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari duit ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu!!!’. Subhanallah ….. rupanya khalifah hanya menyantap makanan yang bisa dinikmati seluruh rakyatnya …….

Jadi malu sendiri, melihat tetangga makan di warung ampera, sedangkan saya di steak house.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun