Seorang Pramugari Sriwijaya Air bernama Nur Febriyani mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari seorang penumpang. Pada penerbangan Sriwijaya Air dengan nomor SJ 078 dari Jakarta menuju Pangkalpinang, Rabu (5/6/2013), seorang penumpang bernama Zakaria Umar Hadi, yang menjabat Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung, melakukan pemukulan terhadap Febby, begitu pramugari ini biasa dipanggil,karena kesal ditegur awak kabin untuk mematikan telepon selulernya.
Usai memukulFebby, di depan pintu kedatangan Bandara Depati Amir Pangkalpinang, Zakaria adu mulut dengan kru pesawat. Ia berkali-kali berkata, “Saya ini penumpang, raja. Saya beli tiket pakai uang. Biar kapok dia.” Setelah insiden kekerasan tersebut, Febby langsung memanggil petugas keamanan untuk melaporkan kejadian tersebut. Zakaria pun kemudian dibawa ke Polsek setempat.
Kasus di atas menarik jika dikaji berdasarkan teori representasi sosial. Representasi sosial diartikan sebagai sistem opini, pengetahuan, dan keyakinan tertentu pada budaya, kategori sosial, atau kelompok terhadap objek tertentu di lingkungan sosial (Rateau, Moliner, Guimelli, & Abric, 2012). Dalam hal ini, representasi atau gambaran atau makna tentang suatu realitas bersifat sosial. Representasi atas suatu realitas di-share dan diproduksi oleh anggota-anggota dalam suatu kelompok sosial.
Maka, representasi sosial memberi panduan dalam menilai lingkungan sosial yang memungkinkan seseorang menentukan, membenarkan, dan melegitimasi perilaku tertentu (Rateau, Moliner, Guimelli, & Abric, 2012). Dalam kasus di atas, Zakaria yang memukul pramugari memiliki representasi sosial tertentu yang mendukung perilakunya. Sementara, Febby memiliki representasi sosial tertentu yang mendukung perilakunya dalam mengingatkan penumpang untuk tidak menyalakan telepon seluler di dalam pesawat.
Saat Zakaria marah-marah sambil mengatakan bahwa penumpang adalah raja, ia punya representasi tentang apa yang dimaksud dengan penumpang. Pengalaman selama berinteraksi dengan kelompoknya, ia dipahamkan dengan makna bahwa penumpang adalah raja. Sehingga, bagi Zakaria, pramugari selayaknya memperlakukan penumpang sebagai raja. Perlakuan Febby yang mengingatkannya untuk tidak menyalakan telepon seluler mendekonstruksi representasinya tentang makna penumpang. Maka, pemukulan yang dilakukan Zakaria menguatkan representasi dalam dirinya tentang penumpang, yakni bahwa penumpang adalah raja. Sehingga, sebagai raja, memukul pramugari dipandang legitimate karena pramugari tidak memperlakukannya sebagai raja.
Sementara, Febby tidak punya representasi penumpang sebagai raja, paling tidak pada kasus dimana penumpang melanggar aturan atau standar operasional penerbangan. Dengan kata lain, penumpang yang melanggar aturan penerbangan tidak layak diperlakukan sebagai raja. Perilaku Febby mengingatkan Zakaria agar mematikan telepon seluler didasari atas representasinya tentang (keselamatan) penerbangan. Tentang penerbangan, bagi awak pesawat, taat terhadap aturan keselamatan selama di pesawat dipandang sebagai representasi yang penting. Keselamatan selama di penerbangan lebih penting dibanding sekedar memperlakukan penumpang sebagai raja, apalagi jika tidak ada alasan memperlakukan penumpang sebagai raja karena penumpang melanggar aturan keselamatan penerbangan.
Adanya kasus Febby, pada akhirnya memungkinkan adanya dialog atau diskursus tentang pentingnya keselamatan dalam penerbangan, khususnya tentang aturan untuk mematikan telepon seluler selama dalam pesawat. Masyarakat diberi ruang diskursus untuk membangun representasi sosial tentang penerbangan. Disebut representasi sosial, dalam hal ini karena representasi merupakan hasil dari obrolan tanpa henti dan dialog terus menerus di antara individu-individu (Moscovici, 1984a). Masyarakat yang semula tidak menganggap penting mematikan telepon seluler selama dalam penerbangan mulai mendapatkan nilai, ide, dan keyakinan baru dari adanya kasus Febby ini. Dalam hal ini, masyarakat mendapatkan representasi sosial yang baru tentang gagasan keselamatan selama dalam penerbangan.
Sekali lagi, adanya kasus Febby memberi kesempatan untuk mengenalkan gagasan keselamatan dalam penerbangan. Dalam hal ini, tujuan dari semua representasi adalah membuat sesuatu yang tidak familiar menjadi familiar (Moscovici, 1984b). Adanya kasus Febby membuat orang belajar tentang pentingnya mematikan telepon seluler demi keselamatan penerbangan. Adanya kasus Febby ini membuat orang lebih familiar dengan gagasan untuk mematikan telepon seluler dan perangkat elektronik lainnya demi tidak terganggunya navigasi pesawat selama dalam penerbangan.
Dalam hal ini representasi tentang keselamatan dalam penerbangan lebih penting daripada representasi tentang kenyamanan dalam penerbangan. Mematikan telepon seluler penting demi keselamatan penerbangan walaupun konsekuensinya mengurangi kenyamanan dalam penerbangan karena tidak bisa berkomunikasi selama masing berada dalam pesawat. Representasi mana yang lebih utama pada akhirnya terejawantah dalam perilaku. Pramugari yang memandang representasi tentang penerbangan berkaitan dengan keselamatan akan melakukan tindakan yang menjamin keselamatan, diantaranya memastikan telepon seluler penumpang dalam keadaan mati. Sementara penumpang yang memandang representasi tentang penerbangan berkaitan dengan kenyamanan mungkin akan melakukan tindakan yang menimbulkan kepuasan selama dalam penerbangan tanpa peduli bahwa tindakannya membahayakan keselamatan nyawa semua orang yang ada di dalam pesawat terbang.
Studi menarik berkaitan dengan masalah ini dilakukan terhadap 1.005 sopir di Perancis (Rateau, Moliner, Guimelli, & Abric, 2012). Peneliti ingin mengetahui representasi tentang kecepatan menurut para sopir. Studi menunjukkan adanya dua representasi yang berbeda. Kelompok pertama memandang kecepatan berkendara sebagai “bahaya”, sementara kelompok kedua memandang kecepatan berkendara sebagai “kesenangan”. Kedua representasi ini menentukan bagaimana cara mereka dalam menyetir. Kelompok pertama berpandangan menyetir sebagai “hati-hati”, sementara kelompok kedua berpandangan menyetir sebagai “hedonistik”. Lagi, lebih sedikit pada kelompok pertama yang mengakui pernah melewati batas kecepatan menyetir dibanding kelompok kedua (52 versus 76 persen). Menariknya, sedikit orang di kelompok pertama yang pernah ditilang polisi karena kecepatan dibanding kelompok kedua (9 versus 19 persen). Dalam hal ini, representasi seseorang tentang sesuatu mempengaruhi perilakunya.
Jadi, bagi Febby, representasi atas pentingnya keselamatan penerbangan mempengaruhi perilakunya dalam memastikan tidak ada telepon seluler yang menyala saat dalam penerbangan. Sementara, bagi Zakaria, representasi tentang kenyamanan dalam penerbangan, bahwa penumpang adalah raja, mempengaruhi perilakunya untuk tetap menyalakan telepon seluler saat berada di pesawat terbang. Representasi tentang kenyaman inilah yang membuat Zakaria memukul Febby karena tindakan Febby telah mengganggu kenyamanannya saat berada di pesawat terbang. Namun, pada akhirnya, representasi tentang kenyamanan inilah yang justru mengantarkan Zakaria berurusan dengan kepolisian dan membuatnya meringkuk di jeruji penjara, hanya berselang beberapa jam dari tindakannya memukul Febby.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H