Mohon tunggu...
Abu Bakar Fahmi
Abu Bakar Fahmi Mohon Tunggu... -

writer, on being a social psychologist

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ada Indonesia di Pelajar Kita

19 Juni 2013   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:45 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di rembang siang, enam pelajar bergegas menuju lapangan sekolah, duduk merapat, lalu melenggokkan Tari Saman. Tak ada rupa-rupa pakaian adat; hanya seragam sekolah, putih abu-abu. Usai Tari Saman, pelajar yang lain turut serta, memasuki tanah lapang, sama-sama menari, berturut-turut, tarian Betawi, Sunda, dan Papua. Lagi-lagi, tanpa rupa-rupa pakaian adat; hanya putih abu-abu.

Usai tarian, seorang pelajar menyeruak di antara kerumun, membacakan puisi “Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar (1948). Sang pelajar seakan mengumandangkan lagu kenangan yang mengingatkan kita pada para pahlawan, “Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir”. Usai puisi, mereka menyanyikan lagu Padamu Negeri.

Itu sekelumit pembukaan acara Deklarasi Pelajar Cinta Indonesia (Pelita Indonesia) di SMA Negeri 4 Depok, 13 juni 2013. Tak ada panggung, tak ada pembawa acara. Para pelajar sebagai pembawa sekaligus pengisi acara, dengan tanah lapang sebagai panggungnya. Mereka sedang jadi aktor utama. Mereka seakan sedang memaknai Indonesia dengan cara mereka sendiri. Ya, dengan cara mereka sehari-hari.

Ya, para pelajar sedang memupuk nasionalisme untuk mereka sendiri dengan cara yang biasa, cara mereka sehari-hari. Ada istilah bagus untuk ini, yakni nasionalisme banal (banal nationalism). Menurut ilmuwan psikologi sosial Michael Billig, semua hal yang “sederhana, tidak diperhatikan, praktek rutin, kebiasaan, kepercayaan, dan representasi ideologis, mereproduksi bangsa setiap hari terus menerus”. Masih menurut Billig, “citra metonimik nasionalisme banal bukan seperti bendera yang secara sadar terus dikibarkan dengan semangat kebangsaan membara, melainkan seperti bendera yang berkibar di gedung tinggi yang tak dihiraukan”. Jadi, alih-alih bendera kebangsaan dikibarkan dengan semangat menyala, dalam nasionalisme banal bendera adalah pengingat yang sepele dan tak terperhatikan. Bendera merah putih ada di pojok rumah kita, sebagai motif kaos yang kita kenakan, dan sebagainya. Kita tidak sengaja memperhatikannya, tetapi itu mengingatkan, secara terus menerus, pada identitas nasional kita. Di generasi pelajar kita, nasionalisme banal berupa, misalnya, lambang garuda yang mereka gunakan di profile picture akun Twitter mereka.

Pada siang itu, pelajar SMA 4 Depok sedang mempraktekkan nasionalisme banal. Mereka menari tarian adat di jam istirahat. Tanpa perlu rupa pakaian adat, tanpa perlu panggung terhormat. Lagu kebangsaan Indonesia Raya atau Padamu Negeri bisa dinyanyikan kapan saja, bukan hanya saat upacara bendera, dan tanpa perlu ada bendera merah putih yang berkibar di depan kita.

13716327011005709557
13716327011005709557

Usai deklarasi, Rektor Universitas Paramadina yang juga pendiri Gerakan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, Ph.D., memberi orasi kebangsaan. “Indonesia kita dibangun dengan cita-cita,” ungkap Anies. “Harapan kita,” lanjutnya, “pada usia 100 tahun kemerdekaan, kita telah melunasi janji kemerdekaan kita, sehingga kita tidak perlu minta maaf karena ada satu warga negara yang tidak terlunasi oleh janji kemerdekaan”. Sebagaimana Indonesia dibangun dengan cita-cita, menurut Anies, pelajar perlu menetapkan cita-cita dan berjuang dengan kerja keras untuk mencapainya.

13716329831422886079
13716329831422886079

Nasionalisme bersifat endemik, begitu kata Billig. Nasionalisme bisa menjangkiti setiap warga. Melunasi janji kemerdekaan bisa dilakukan dengan, mula-mula, memupuk jiwa nasionalisme di sanubari setiap warga bangsa. Ini lebih mudah dilakukan dengan cara menebar kebiasaan kita sehari-hari yang mengingatkan akan identitas nasional kita. Dan ternyata, pelajar kita sudah memulainya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun