Artikel ini saya buat sebagai bentuk keresahan saya terhadap beberapa hal-hal yang terjadi belakangan ini. Mengingat saat ini menjadi musim kemarau yang cukup panjang. Krisis air melanda sebagian wilayah Indonesia. Sebagian warga mengharapkan akn datangnya musim hujan. Namun apa daya, musim hujan yang diprediksi akan muncul bulan Oktober ini, bergeser menjadi akhir November. Itupun hanya sebatas prediksi, bisa akurat bisa juga tidak. Beberapa kabar yang sering kita dengar adalah musim hujan lama kelamaan semakin pendek waktunya dan semakin panjang waktu untuk musim kemarau.
Hal ini mungkin menjadi suatu kecemasan bagai sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain tidak. Mereka yang tidak mencemaskan akan terjadinya kekeringan berkepanjangan adalah mereka yang memiliki harta berlebih, mereka yang mengambil air dari sumber terdalam. Mereka merasa bahwa air akan selalu ada dan tetap akan begitu. Padahal tanda-tanda air mulai berkurang adalah terjadinya penurunan tanah. Air di bawah tanah yang menipis menyebabkan penurunan tanah. Mungkin penurunan ini tidak terlalu terasa, namun dalam jangka panjang mungkin akan terasa dampaknya. Untuk itulah diperlukan manajemen pengelolaan air yang baik.
Sebenarnya pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana bisa air yang memiliki siklus untuk terus ada,menjadi semakin sedikit keberadaannya?. Seperti yang kita ketahui tentang hukum kekekalan materi bahwa materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, melainkan materi akan menjadi bentuk lain. Seharusnya air akan selalu ada dan kekal sampai kiamat. Jawaban dari pertanyaan ini secara ilmiah dapat saya katakan adalah ketimpangan. Apa sih ketimpangan yang dmaksud? Ketimpangan antara kecepatan siklus air dengan kecepatan penggunaan air. Dimisalkan Kecepatan siklus adalah 500 m3/hari sedangkan penggunaan air dalam 1 hari bisa 1000m3 per hari (Hanya permisalan, bukan hitungan pasti).
Artinya setiap harinya seuatu wilayah defisit air sebesar 500m3, secara otomatis air defisit harus ditambal dengan cara menarik dari sumber lain. Contohnya: penggalian sumur lebih dalam dan exploitasi mata air pegunungan. Seolah-olah air tidak habis dan kita selalu menikmatinya. WOW, namun hal itu adalah hal yang salah. Air terus terkuras dan mungkin akan habis, bukan karena material air itu hilang. Tetapi material air itu berubah menjadi bentuk lain dan bukan air. Mulailah kampanye untuk menghemat air, terdengar bagus namun kurang efektif. Penghematan hanya sedikit mengurangi kececepatan penggunaan air hanya sedikit. Untuk keperluan rumah tangga mungkin bisa dikurangi, sedangkan untuk kebutuhan industri??? Hal itu cukup sulit direalisasikan. Lantas bagaimana solusi untuk masalah ini???
Sebetulnya kuncinya ada pada manajemen air. Manajemen disini bukan maksudnya untuk bagaimana menghemat air, namun lebih kepada mencoba mempercepat siklus air supaya antara kecepatan siklus dan kecepatan penggunaan air dapat seimbang. Misalnya saja dengan menambah luasan area yang materialnya adalah tanah, bukan aspal. Hal ini agar menyerap air lebih banyak ketika musim hujan. Perhitungan area ini harus didasarkan pada kalkulasi secara matematis, misal mencakup daya serap, kebutuhan air dan lainnya. Sehingga ada suatu perhitungan untuk menghitung luasan area tanah dalam kawasan. Serapan air ini akan berguna untuk dapat menampung air ketika hujan.
Selain itu, perlu dilakukan pengolahan air sisa yang sudah terpakai menjadi bersih kembali agar dapat dipakai. Seperti yang kita ketahui bahwa sebenarnya air yang memang benar-benar digunakan dan mengikat adalah air yang kita minum. Selebihnya misal pada saat mandi, air hanya digunakan untuk membilas 5% tersisa di tubuh kita sedangakan 95% terbuang biasanya ke saluran air. Saat mencuci mobil juga serupa hanya 10% yang menempel dan menguap, sisanya 90% terbuang ke selokan. Biasanya mengalir terus sampai ke laut.
Air sisa inilah yang harusnya dimanfaatkan menjadi air bersih kembali. Dibuat sistem agar pengolahan air ini dapat dilakukan sesederhana mungkin, terutama untuk gedung perkantoran dan industri yang banyak memakan air. Hanya perlu menyingkirkan material tak berguna dalam air, kita dapat memperoleh air bersih kembali. Ilmu manajemen seperti inilah yang kedepannya sangat dibutuhkan. Bagaimana cara merancang suatu sistem agar air dapat bersiklus dalam suatu kawasan dengan maksimal.
Perlu juga dalam kaitannya dengan intensitas hujan. Pemerintah kota atau provinsi sudah harus merancang jadwal untuk melakukan hujan buatan. Saya berfikir bahwa sudah saatnya dengan perubahan iklim ini, manusia membantu alam dapalam mempercepat siklus materi. Salah satunya adalah air. Banyak awan, namun tak kunjung hujan, potensi awan ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan hujan buatan. Selain itu juga karena naiknya air laut dan mencairnya es di kutub, mengapa tidak kita manfaatkan saja air laut diolah untuk kebutuhan sehari-hari. Potensinya sangat besar menurut saya. Sudah saatnya manusia bukan hanya memperhatikan teknologi digital, namun hal mendasar yang sangat dibutuhkan mahluk hidup, yaitu air. Teknologi pengolahan air sudah harus semakin dikembangkan. Industri pengolahan air laut juga perlu dikembangkan, mengingat bahwa es di kutub sudah mulai mencair dan dampaknya ir laut makin bertambah.Â
Mungkin slogannya harus diganti dari "Mari menghemat air" menjadi "Mari kelola air agar siklusnya maksimal". Â
Mungkin pendapat saya terlihat mustahil, namun saya yakin kedepan ide ini akannjadi ide yang menjanjikan.
Penulis
Abubakar Ahmad
Instagram: abubakara965
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H