TIDAK SEPERTI TEMAN-TEMAN BAPAK
dari Buku Berkah 2: Berjuang di Tengah Badai (2011)
Penulis: Ria Yuniarti
Tak terasa tahun ini usia pernikahanku menginjak usia 12 tahun. Itu bukan waktu yang singkat, tentu. Selama 12 tahun aku mendampingi seorang laki-laki yang bekerja di DJP. Aku mengingat saat berkenalan dulu, juga ketika selembar kertas curiculum vitae kuserahkan kepada bapakku. Tulisan pekerjaan CPNS DJP kuandalkan untuk meluluskan seleksi pemilihan calon menantu. Ya, kutahu Bapak akan merasa aman menitipkan masa depan anak gadisnya kepada seorang PNS atau ABRI seperti dirinya.
Betul saja rencana pernikahan kami berjalan mulus, Bapakku sangat bersemangat untuk segera menyelenggarakan pernikahanku. Beliau bahkan rela bersusah-susah mencari gedung untuk acara resepsi, padahal bisa saja dia mempercayakan orang lain untuk mengurusnya. Suatu saat aku iseng bertanya pada Bapakku mengapa beliau begitu bersemangat menerimanya sebagai menantu. Dan aku masih juga merinding jika mengingat jawabannya, katanya, “Calon menantunya sudah memenuhi kriterianya, yaitu baik agamanya, pendidikannya, dan pegawai pajak.”
“Pegawai pajak itu masa depannya cerah, Bapak kenal dengan beberapa teman pegawai pajak, hidupnya makmur sejahtera,” bapakku beralasan.
Aku hanya tersenyum, “Aaah Bapak.”
Secerah apa sih masa depan pegawai pajak? Setelah menikah kami masih tinggal di rumah orang tuaku, setiap Suamiku pamit akan berangkat bekerja Bapakku selalu berkata, “Sekarang masih pake angkot, sebentar lagi pake motor atau mobil ya, tuh seperti teman-teman Bapak.”
“Amin!” jawabku dan suamiku kompak. Kami menganggapnya sebagai doa dari orang tua yang pasti akan langsung didengar Allah. Ada kekhawatiran dalam hatiku kalau suamiku jadi terbebani dengan ucapan Bapakku, karenanya aku biasa menetralkannya dengan membisikkan kata-kata di telinganya. “Cari rezeki yang halal ya Kang…”
Enam bulan sejak pernikahan, kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah, lebih tepatnya menyewa kamar dengan pertimbangan jarak ke tempat Suamiku kerja lebih dekat, uang sewa yang dibayar per bulan dibayar dengan uang rapel PNS Suamiku. Sesekali bapakku datang menengok kami, sepertinya beliau agak prihatin dengan kondisi kami. Tidak ada meja dan kursi di ruang tamu melainkan hanya karpet yang tergelar dan kamar mandi kami benar-benar kecil. Ruangan seluas 4m x 5m disekat- sekat dengan tripleks. Saat berkunjung itulah kami mendengar komentar-komentar penuh kekhawatiran yang bertubi keluar dari mulutnya.
“Bagaimana ini? Tidakkah lebih baik kalian kembali ke rumah Bapak saja? Jangan remehkan keadaan Istrimu yang sedang hamil,” aku melihat suamiku hanya tersenyum, sementara bapak kembali melanjutkan kalimat-kalimatnya, “nanti kalau membeli rumah pilih yang besar ya.”