Mohon tunggu...
Wenas Haritama
Wenas Haritama Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya orang kebanyakan di tengah-tengah orang banyak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekolah Kolong Wonderland

1 Maret 2014   18:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:20 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kusadari sekarang. Wonderland tambah menciut. Siluet gunung dari kejauhan yang dulu masih terlihat dari sini, dihadang tegas oleh konstruksi lantai baru. Angin pun sepertinya ogah-ogahan untuk mampir menyapa pohon ketapang yang sedari tadi hanya terpaku kaku tanpa ekspresi. Di bawah, di lapangan sempit persilangan lapangan basket dan voli itu, anak-anak bermain – lebih cocok kalau dikatakan berebutan – bola plastik. Koridor yang mengitari lapangan, tampak ramai oleh lalu lalang anak-anak, maklum jam istirahat pertama.  Dari lantai dua ini, mereka cenderung terlihat monoton dengan warna-warna hijau dan putih yang mereka pakai. Sama dengan yang kupakai sekarang. Ah, Wonderland mulai membuatku bosan. Apalagi saat bel bernada tunggal itu meraung-raung dengan cueknya.  Dan selalu sama seperti biasa, nada tunggal yang meraung-raung tak peduli itu memicu ingatan bawah sadar anak-anak Wonderland dan seakan-akan memerintahkan kaki-kaki mereka untuk segera memasuki kelas.

Kalian tahu, aku bukan dari sini. Duniaku memang bisa dikatakan tak seindah Wonderland ini. Tapi masih saja menurutku, lebih hidup. Lebih menantang. Memang tidak dapat diingkari, kalau aku harus berada di sini. Demi masa depan. Dan demi ustadz yang telah bersusah payah membuatku berada di sini. Paling tidak, aku tidak boleh mengingkari asalku dengan merasa nyaman di sini. Wonderland hanyalah Joyoboyo atau Purabaya lainnya, yang tak lebih hanya persinggahan semata, begitulah pesan emak.

“Tonggaaa...!”

Sepasang mata yang belok itu menatap dengan tajam, mulutnya menarik simpul sinis yang khas. Lembut memang suaranya, tapi selalu bisa membuat setiap anak terpanggil paksa dari dunia lamunan yang asyik. Dan itu sangat berlaku buatku. Entahlah, tapi memang akhir-akhir ini penyakit lemotku semakin menjadi-jadi, dan salah satu indikasinya adalah melamun tak jelas.

“Tongga, mungkin kamu bisa j elaskan ke Ustadzah apa itu pecahan? Yang lain tolong diam dulu, biar Tongga yang menjawab.”

Dapat kulihat setiap pasang mata yang ada di kelas ini memakukan pandangannya padaku. Bahkan geng Tifani – sekelompok anak cewek ber-IQ sedang, tetapi bergaya seperti yang punya sekolah – sedari tadi mesam-mesem sambil bisik-bisik entah apa. Bukannya aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ustadzah Aik, tapi yang jadi masalah adalah apakah beliau bisa menerima jawabanku. Karena sepertinya hampir semua guru di sini belum bisa – atau bahkan tidak bisa – menerima semua jawabanku. Masih kuingat jelas ketika Ustadz Kasan menanyaiku tentang apa dan bagaimana tugas Walikota setelah beliau menjelaskan panjang kali lebar selama satu jam pelajaran penuh. Setelah berpikir seius sambil menyiapkan kata-kata yang agak intelek, kujawab begini:

“Beliau bertugas memberikan instruksi kepada anak buahnya yang sebagian banyak adalah Satpol PP untuk membantu para pedagang di pinggir jalan untuk mengemasi semua barang-barang dagangannya walau mereka masih belum selesai berjualan.”

Kalian tahu apa reaksi beliau. Wallhasil, kedua biji mata beliau melotot. Hembusan napasnya semakin memburu. Seragamnya seakan-akan tak kuasa lagi menahan dadanya yang mengembang. Marah yang tertahan. Level terendah dari fase kemarahan. Inilah saatnya. Tanpa pikir panjang lagi, kugunakan jurus mautku, jurus lama dan sangat terbukti keampuhannya. Jurus yang berguna untuk bereaksi dalam situasi memojokkan seperti ini. Langsung saja kujajarkan gigi-gigiku dengan manis, kupadukan dengan sedikit simpul ujung bibir dengan sudut 30 derajat persis, tak kurang, tak lebih. Dan terakhir, mata kukedipkan memakai ketukan 2/4 dengan kecepatan andante. Apakah berhasil? Kurasa tidak, karena tetap saja aku dipanggil wali kelas saat jam istirahat terakhir.

Pandangan Ustadzah Aik masih memakuku, menunggu jawaban. Dengan jujur kuakui, matematika memang sulit untuk dijelaskan dengan bahasa oral, entah itu bahasa Indonesia, Inggris, atau bahkan bahasa jin sekalipun. Pelajaran seperti ini – maksudku dengan simbol-simbol yang agak sulit diterima insting naluri manusia – harusnya tidak diberikan seperti ini. Bagaimana bisa nalar anak sepertiku ini menerima simbol garis miring sebagai simbol pecahan. Kenapa memang harus memilih tanda garis miring? Yang parah lagi, apa itu pecahan? Pecahan piring? Pecahan kaca? Berkeping-keping? Apanya yang berkeping-keping? Sepertinya kepalaku yang akan bernasib sama seperti pecahan kaca? Berkeping-keping, apalagi jika aku tak segera menjawab pertanyaan Ustadzah Aik.

“Tongga, kami masih menunggu jawabanmu. Apa itu pecahan?”, suaranya masih lembut, tapi menegas, bertanya sekaligus meng-ultimatum, tenang sekaligus mengintimidasi bawah sadar.

Otak pun berpikir keras di sela-sela cekikikan geng Tiffani yang semakin terasa tajam menghujam di telingaku. Semakin aku berpikir, semakin sulit pula kutemukan jawaban – jawaban yang mereka inginkan maksudku. Apa boleh buat, kuberondong saja dengan jawaban yang sedari tadi cangkrukan di otakku, menunggu mulutku untuk memamerkan mereka. Ah, kuharap kali ini jawabanku bisa diterima oleh orang-orang ini.

“Pecahan itu .... Tergantung dari mana kita melihatnya. Jika kita melihatnya sebagai komposer, atau paling tidak seorang musisi, maka pecahan menunjukkan jumlah ketukan di tiap bar, dan menunjukkan juga nilai not yang dihargai sebagai satu ketukan. Contoh: pecahan ¾ berarti terdapat 3 ketukan dalam tiap bar, dan not ¼ dihitung sebagai satu ketuk.”, kuambil napas, lalu melanjutkan lagi.

“Jika kita melihatnya sebagai seorang fotografer, maka pecahan dapat berarti sebagai kecepatan shutter atau rana untuk membuka dan menutup jendela di depan sensor. Jika sensitifitas sensor atau ISO sebesar 200 maka kecepatan shutter yang ideal adalah kebalikan dari ISO yakni 1/200. Semakin kecil jumlah pecahan dalam kecepatan shutter maka gambar yang didapat akan semakin tajam dan berefek beku. Misal, kecepatan 1/250 lebih kecil dari 1/125, oleh karena itu 1/250 lebih ....”, kuhentikan mendadak jawabanku.

Tak sadar jawaban-jawabanku meluncur seperti mitraliur yang membabi-buta. Semua yang ada di kelas mematung, menatapku aneh. Kurasa aku melakukan kesalahan lagi. Ekspresi itu selalu terlihat ketika aku memberikan jawaban yang salah. Beku, menatap kaku, dan berekspresi datar. Trio Tiffani pun tak berkomentar, diam tak berbahasa. Ustadzah Aik membeku selama sepuluh detik, hanya kelopak matanya saja yang berkedip-kedip mengikuti detik jam.

“Mmm... salah ya us?”, kata-kataku memecah keheningan.

“Ehm ... begini saja ....” Ustadzah Aik kembali tersadar dari masa tenggangnya. “Bagaimana kalau kita langsung praktek anak-anak? Biar kita mengetahui secara konkret apa pecahan itu?”

Seisi ruangan kembali hidup setelah beberapa detik  berada dalam keadaan suri. Tampaknya mereka senang dengan tawaran Ustadzah Aik. Aku sendiri juga senang, daripada berkutat seputar simbol-simbol matematika yang aneh buatku. Apa yang akan dilakukan beliau kali ini? Muncul tanya jawab besar dalam benakku. Kulihat beliau mulai membuka kantong kertas yang entah sejak kapan dia siapkan. Mungkin karena fokus pandanganku yang selalu ke papan sehingga tak melihat ke arah lain. Ustadzah Aik mengambil sesuatu dari kantong kertas itu. Sebuah cake bundar ukuran medium. Siapa yang ulang tahun?

“Baiklah, kita akan belajar pecahan dari kue ini. Ada yang tahu bagaimana caranya kita belajar pecahan dari kue ini?”

Banyak sekali yang mengangkat tangan. Bahkan trio Tiffani sampai berdiri berjinjit dengan telunjuk yang diulurkan tinggi-tinggi. Kalau aku sih hanya ingin mendapatkan bagian dari kue itu untuk kumakan. Parahnya, kurasa Ustadzah Aik bisa membaca pikiranku.

“Tongga, silakan maju.”

Dengan langkah gontai, aku pun maju. Kudekati pelan-pelan kue itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Kekuatiran bertambah dalam diri, melihat Ustadzah Aik mengambil benda yang berkilauan dari dalam tasnya. Pisau. Apa maksud semua ini? Apa hubungannya kue, pisau, dan pecahan? Terlebih lagi, kita belajar apa sih ini, Tata Boga apa Matematika?

“Baik Tongga. Sekarang potong kue ini menjadi dua bagian yang sama besar.”

“Maaf Ustadzah, bisa diulangi lagi perintahnya?”, tanyaku agak bingung.

“Tongga, gunakan pisau itu untuk memotong kue di hadapanmu menjadi dua bagian yang sama besar.”

Sekarang giliranku yang membeku. Aku hanya memandang kue itu tanpa kedipan sama sekali. Aku masih berusaha mencerna apa yang diinginkan Ustadzah Aik padaku. Seisi kelas mulai tidak sabar. Mereka mulai berebutan mengangkat tangan untuk menggantikan posisiku sebagai pemotong kue.

“Tongga! Silakan potong kue itu menjadi dua bagian sama besar. Apa kamu tidak pernah memotong kue sebelumnya?” desak Ustadzah Aik tidak sabar.

Bukan begitu. Aku sering memotong kue. Memotong pepaya. Memotong ayam pun pernah sekali dua kali. Tapi kali ini syaratnya sulit kuterima: sama besar. SAMA BESAR.

“Tonggaaa!!! Apa yang kamu tunggu? Dasar bocah ....”, suara Ustadzah tertahan paksa.

Seisi kelas mulai melontarkan ekspresi-ekspresi primordial. Aku bingung. Jantungku terasa tertekan oleh kuatnya aliran darah yang bersirkulasi. Dadaku pun sesak seakan-akan oksigen tersedot habis dari dalam paru-paruku. Apa ini? Mata pun mulai pedih menahan luapan air dari fornik konjungtiva. Aku berusaha menelan ludah untuk menghilangkan pahit di pangkal tenggorok sekaligus mentralisir luapan di mataku. Tapi riuh kelas semakin mengerdilkanku. Dengan sisa-sisa tenaga, aku beranikan untuk berbicara.

“Maaf Ustadzah ....”, jeda sekian detik.

“Aku sulit untuk memenuhi keinginan ustadzah ....” jeda lagi.

“Jujur ustadzah, saya bingung. Karena ....”, kuletakkan pisau, kemudian lanjut menggaruk rambut yang kian lama kian menggila gatalnya.

“Memotong roti memang mudah ustadzah, tapi ....”, seisi kelas mulai senyap dan tampak berusaha memakukan kesadaran penuh mereka pada apa yang kubicarakan.

“Tapi apa ....”, Ustadzah Aik merespon lembut.

“Tapi untuk memotong kue menjadi dua bagian sama besar harus dengan seksama memerhatikan dulu beberapa variabel; bagaimana teksturnya, massa jenis unsur-unsur penyusunnya, tegangan permukaan kue, berat pisau, keseimbangan pisau dengan gagangnya, titik sumbu pisau sebagai tumpuan, tebal pisau, tekanan iris, dan itu belum lagi sudut pemotongan sekaligus densitas kelembaban ruangan ....”, air dari mata dan hidungku mulai menetes.

Ustadzah Aik mulai membeku. Penuh tanda tanya. Seakan ingin bertanya tapi pita suara seakan menciut. Beliau pun mulai mendekat ke arahku.

“Lantas ustadzah .... Bagaimana bisa aku melakukan semua itu, sedangkan ustadzah hanya memberiku sebilah pisau tanpa kalkulator untuk menghitung itu semua, dan bahkan tidak ada kertas secuil pun untuk coret-coretan.”

Air mataku tumpah ruah dan semua kelas hanya membeku. Datar. Tanpa ekspresi. Kecuali Ustadzah Aik. Kedua biji beliau melotot. Hembusan napasnya semakin memburu. Jilbabnya seakan-akan tak kuasa lagi menahan kepalanya yang mengembang. Marah yang tertahan. Dan bel tak tahu diri itu kembali meraung-raung dengan cueknya.

“Tonggaaaaa!!!....”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun