Mohon tunggu...
Abu Amar Fauzi
Abu Amar Fauzi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mahasiswa Magister Manajemen STIE Perbanas Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Pabrik Gula sebagai Situs Sejarah dan Optimalisasi Kearifan Lokal Petani Tebu

8 Januari 2013   02:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:23 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam menyongsong era perubahan di awal tahun baru 2013 ini, Direktur Utama PTPN X Subiyono mengungkapkan misi baru yang akan membentuk perubahan signifikan pada organisasi PTPN X yaitu diversifikasi pabrik gula dan Golden Era[1]. Dari misi yang akan dibawanya ini, kita bisa melihat bahwa momentum tersebut akan menjadi tonggak awal meluasnya segmen bisnis pabrik gula nasional dibawah PTPN X yang selama ini belum mampu keluar dari traditional image yang telah terbentuk kuat dalam persepsi masyarakat Indonesia. Berkenaan dengan potensi bisnis pabrik gula, kita bisa merinci lebih mendalamdan keluar dari makna umum diversifikasi itu sendiri. Diversifikasi yang seharusnya diterapkan tidak hanya menitikberatkan pada pengembangan produk – produk gula dari tanaman tebu tetapi juga bagaimana melakukan perluasan bisnis pada fungsi pabrik gula itu sendiri. Tingginya historical value yang dimiliki oleh pabrik gula di Indonesia sudah barang tentu menjadi tambang emas untuk meningkatkan citra dan juga keuntungan perusahaanmelalui pengembangan pariwisata sejarah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu kiranya kita membahas bagaimana potensi bisnis pabrik gula melalui pariwisata sejarah dengan memanfaatkan pabrik gula sebagai bagian dari situs sejarah dan optimalisasi kearifan lokal petani tebu.

Sejarah pun telah menorehkan sebuah perjalanan panjang perkembangan pabrik gula di Indonesia. Perjalanan pabrik gula di Indonesia telah berlangsung sejak penjajahan kolonial Belanda. Perjalanan panjang ini pun secara otomatis membentuk persepsi masyarakat terkait nilai sejarah yang melekat erat pada eksistensi pabrik gula di Indonesia. Oleh karena itu, dalam memperluas segmen bisnis pabrik gula, wisata sejarah yang dikelola dengan baik bisa menjadi potensi tersendiri yang bisa membuat fungsi pabrik gula itu sendiri tidak hanya sebagai pabrik gula saja tetapi juga sebagai tempat wisata sejarah yang menarik. Untuk mematangkan proses diversifikasi tersebut tentunya harus diimbangi dengan perencanaan yang matang tentang model pariwisata yang seharusnya diimplementasikan. Jika melihat potensi pabrik gula dengan kearifan lokal petani gula di Indonesia, tentunya kita juga harus mempertimbangkan kedua hal tersebut untuk menghasilkan sinergi berkesinambungan dan azaz menfaat yang lebih maksimal.

Pabrik Gula Sebagai Situs Sejarah

Perjalanan panjang pabrik gula di Indonesia sejak kolonial Belanda menciptakan ketertarikan tersendiri oleh masyarakat untuk mengetahui lebih jauh tentang pabrik gula. MenurutEma Yunita Titisari[2], berkembangnya pabrik gula nasional pada waktu penjajahan Belanda merupakan efek dari kebijakan tanam paksa “cultuur stelsel” yang dilakukan oleh pemerintahan penjajahan Belanda pada tahun 1830-an. Bukan hanya mengubah batang – batang tebu jawa menjadi keping – keping gulden, tetapi juga mengkolonisasi arsitektur rumah rakyat. Pelopor perubahan umumnya adalah para juragan pemilik lahan tebu yang dulu, diberi posisi penting di pabrik.Lewat posisi itu “ide pembaharuan” (baca: kolonisasi langgam arsitektural) menyebar ke kalangan rakyat.

Rumah Dinas Direktur Pabrik Gula Purwokerto di tahun 1900-an

Sampai saat ini, sisa – sisa arsitektur Belanda masih menghiasi aktivitas produksi gula di pabrik – pabrik gula nasional. Bahkan, lambannya modernisasi teknologi dalam produksi pabrik gula memberikan nilai sejarah pabrik gula masih terjaga meskipun hal ini berpengaruh terhadap jumlah produksi yang dihasilkan.

Dari pengantar di atas sudah sepatutnya nilai sejarah pabrik gula nasional dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya untuk dikelola sebagai objek wisata sejarah yang bisa dijadikan sarana pembelajaran langsung kepada generasi muda Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa aktivitas pabrik gula pada zaman kolonial Belanda merupakan fakta sejarah yang tidak bisa terlepas dan selalu beriringan dengan proses perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan Indonesia.

Model wisata sejarah yang bisa diterapkan di pabrik gula adalah dengan mengedepankan pabrik gula sebagai situs sejarah. Meskipun ada beberapa pabrik gula yang sudah melakukan proses modernisasi baik berupa gedung operasional pabrik, rumah dinas dan juga teknologi dalam produksi, sudah seharusnya masih tetap menyediakan proses produksi dengan menggunakan alat – alat tradisional yang bernilai sejarah untuk menumbuhkan nilai pendidikan bagi generasi muda.

13576119121361243654
13576119121361243654

Kantor Baru Pabrik Gula Kebon Agung Malang dengan Arsitektur Modern

Pada dasarnya, dalam pengembangan wisata sejarah ini ada beberapa prinsip yang harus dijalankan yaitu prinsip konservasi, ekonomis, edukasi, memberikan kepuasaan dan pengalaman kepada pengunjung, dan mengakomodir kearifan lokal. Prinsip diatas mengacu pada Permen Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Walaupun tidak akan berbicara tentang pengembangan ekowisata, tetapi peraturan tersebut bisa menjadi dasar pengelolaan terhadap perencanaan wisata sejarah pabrik gula nasional. Sedangkan menurut Prof. Dr. Timbul Haryono[3], bahwa dalam pengembangan pariwisata budaya termasuk dalam hal ini sejarah perlu memperhatikan dan menjaga adanya hubungan timbal-balik yang saling berpengaruh antara masyarakat, pengunjung dan industri pariwisata.

Pada prakteknya, wisata sejarah di pabrik gula bisa menerapkan system “factory tour” yang ini memang menjadi magnet utama masyarakat tertarik dengan jenis wisata ini. Para pengunjung diajak untuk mengikuti aktivitas produksi tebu dari awal hingga akhir. Selain itu pengelola seharusnya membangun pusat informasi terpadu dalam wadah “Museum Pabrik Gula”,dimana dari museum tersebut pengunjung bisa mendapatkan informasi yang komprehensif terkait sejarah perjalanan pabrik gula baik berupa panduan buku, foto maupun replika alat-alat produksi di masa lampau. Model ini akan lebih menarik bagi siswa sebagai penunjang informasi yang mungkin tidak mereka dapatkan ketika melakukan “factory tour”.

Kearifan Lokal Petani Tebu di Indonesia

Hal kedua yang harus menjadi fokus dalam pengembangan wisata sejarah pabrik gula adalah kearifan lokal petani tebu sebagai mitra utama pabrik gula sekaligus pemasok bahan utama pembuatan gula. Petani tebu tidak bisa dilepaskan secara mutlak dari sejarah perkembangan pabrik gula di nusantara ini.

Dalam sejarahnya, sejak penjajah Belanda membuka koloninya di Pulau Jawa, tuan – tuan tanah mulai membuka kebun tebu pada abad ke-17. Perkebunan tebu mencapai puncak kegemilangannya pada tahun 1930-an dengan 179 pabrik pengolahan dan produksi tiga juta ton per tahunnya. Namun, diakhir dekade 1930-an, akibat penurunan harga gula akibat krisis ekonomi, industri ini mengalami kemunduran hingga hanya tersisa 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton per tahun. Pada tahun 1950-an Indonesia menjadi eksportir gula. Pada tahun 1957 semua pabrik gula dinasionalisasi dan pemerintah sangat meregulasi industri ini. Dan sejak tahun 1967 hingga saat ini Indonesia kembali menjadi importir gula.

Dalam rangka mencapai Golden Era seperti yang dicanangkan oleh Direktur Utama PTPN X diawal tulisan ini, sudah seyogyanya pengelola pabrik gula dalam hal ini PTPN X menyinergikan peran kearifan lokal petani tebu yang masih setia merelakan lahannya untuk dijadikan kebun tebu sebagai bagian terintegrasi perencanaan wisata sejarah pabrik gula. Teknis operasionalnya adalah dengan membentuk komunitas petani tebu dengan pengelolaan professional untuk menjadikan lahan perkebunan tebu itu tidak hanya sebagai sarana perkebuanan tetapi sebagai tempat wisata nyata bagaimana proses dan perawatan tanaman tebu. Dengan ini kearifan lokal petani tebu akan tetap terjaga dan merasa diperhatikan oleh pemerintah dengan melibatkan secara langsung pengembangan bisnis baru ini. Pengembangan model ini akan menjalankan prinsip dasar pengembangan bisnis pariwisata seperti yang ditungankan dalam Permen No. 33 Tahun 2009 yaitu ekonomis, edukasi, memberikan kepuasaan dan pengalaman kepada pengunjung, dan mengakomodir kearifan lokal.

Sebuah pengembangan dalam investasi bisnis baru terutama dalam bidang kepariwisataan memerlukan perencanaan yang matang. Perlunya dukungan elemen – elemen lain yang terkait dengan aktivitas bisnis agar mendapatkan hasil maksimal sesuai target yang telah ditetapkan. Untuk itu, mengacu apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Timbul Haryono diatas, bahwa dalam pengembangan pariwisata budaya termasuk dalam hal ini adalah sejarah perlu memperhatikan peran masyarakat, pengunjung dan industri pariwisata. Peran ketiga elemen tersebut menjadi modal dasar yang sangat berharga sebagai langkah awal aktivitas bisnis baru tersebut.

Model Pemasaran

Di era digital seperti sekarang ini, proses promosi suatu produk komersial baik itu barang maupun jasa, industri manufaktur maupun pariwisata menjadi sangatlah mudah dan murah. Namun, perlu diperhatikan bahwa wilayah digital atau online dalam aktivitas promosi harus tetap didukung dengan promosi offline melalui media poster, pamflet, brosur dan media – media promosi lainnya. Oleh karena itu, model pemasaran yang efektif harus melibatkan beberapa elemen seperti pemerintah, swasta dalam hal ini industri kepariwisataan (biro wisata atau travel), lembaga atau organisasi lingkungan atau konservasi budaya dan sejarah, dan terakhir masyarakat setempat.

Pemerintah sebagai regulator yang terkait dengan izin usaha dan aktivitas bisnis merupakan faktor pendukung awal dalam sebuah bisnis baru. Tanpa adanya izin resmi dan dukungan pemerintah tentunya perencanaan usaha yang telah disusun matang akan tidak bisa berjalan. Untuk itu, komunikasi dan dukungan perlu segera dijalin antarara investor bisnis dalam hal ini PTPN X dan pemerintah untuk kelancaran usaha ini. Pemerintah pun juga bisa sangat berperan aktif untuk mempromosikan wisata sejarah ini melalui Dinas Pariwisata dengan sosialisasi ke institusi – intitusi sekolah sebagai target utama bisnis ini sebagai sarana belajar dan pembelajaran.

Pihak swata pun tidak kalah perannya dalam bisnis pariwisata ini. Dalam hal ini biro perjalanan dan agen travel berperan penting mengarahkan wisatawan untuk mengunjungi wisata sejarah ini. Simbiosis mutualisme adalah prinsip bisnis yang tidak bisa dihilangakan karena kedua belah pihak ingin saling diuntungkan sehingga kerjasama dan komunikasi yang solid dalam promosi wisata ini sangat diperlukan.

Selain itu, peran lembaga ataupun organisasi di bidang lingkungan, budaya dan sejarah tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai lembaga yang sangat memperhatikan permasalahan tesebut diatas, peran mereka mampu memberikan masukan berupa kritik dan saran untuk terus meningkatakn pelayanan dan arah pengembangan wisata sejarah yang lebih baik. Melalui rekomendasi yang dikeluarakn oleh lembaga – lemabaga tersebut mampu menarik pengunjung yang lebih banyak lagi.

Terakhir, peran masyarakat sekitar sebagai bentuk penghargaan terhadap kerelaan mereka memberikan wilayahnya menjadi objek wisata merupakan bentuk dukungan moril dari masyarakat terhadap wisata sejarah ini. Melalui rasa etnosentrisme atau kecintaan terhadap daerahnya, secara tidak langsung masyarakat sekitar akan menjadi marketing - marketing handal untuk mempromosikan daerahnya kepada orang lain. Mereka sangat diuntungkan adanya lokasi wisata sehingga akan terbuka lapangan – lapangan bisnis baru yang berpengaruh pada meningkatnya taraf ekonomi mereka.

Melalui perencanaan dan dukungan dari semua pihak dengan target pencapaian Golden Era melalui diversifikasi usaha, sudah barang tentu tantangan baru sudah di depan mata. Tetapi dengan potensi yang dimiliki oleh pabrik gula di Indonesia khususnya dibawah naungan PTPN X, diversifikasi usaha melalui pengembangan fungsi pabrik gula tidak hanya sebagai produsen gula tetapi juga sebagai tempat wisata akan menemui hasil yang maksimal. Dua fokus utama tersebut diatas yaitu pabrik gula sebagai situs sejarah dan optimalisasi kearifan lokal petani tebu merupakan dua elemen yang memiliki sinergi kuat dalam keberhasialan pengembangan wisata sejarah ini.

[1] Pidato menyambut Perayaan Tahun Baru 2013 di depan Kantor PTPN X pada tanggal 31 Desember 2012

[2] Peneliti Laboratorium Arsitektur Nusantara, Fakultas Teknik,Universitas Brawijaya Malang

[3] Guru Besar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada dalam acara “Workshop Rencana Induk Nasional Pembangunan Kebudayaan; Pengembagan Pariwisata Budaya” pada tanggal 7 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun