Suatu siang di hari imajiner.
Presiden Jokowi (JKW) : Selamat siang, Bung. Saya mau minta nasihat lagi. Semoga Bung tidak terlalu sibuk.
Bung Karno (BK) : Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Meskipun kamu beberapa kali membuat anakku Megawati curhat dan terisak, aku masih bisa mengerti dan sabar. Ayo, kamu mau konsultasi apa? Apa soal beras lagi?
JKW : Bukan soal beras, Bung. Kalau urusan beras sudah saya perintahkan kepada para pembantu saya untuk kerja keras. Saya pun sudah lihat stok beras Bulog di Kelapa Gading. Setidaknya dengan foto dan sorot kamera kepada tumpukan beras itu, rakyat biar agak tenang. Yang saya mau konsultasikan adalah itu sikap Mas Bambang Widjojanto alias BW. Kok, dia malah mau gugat UU KPK ke Mahkamah Konstitusi? Dia merasa tidak puas dan mau melawan saya. Dia tidak mau diberhentikan sementara.
BK : Halah! Urusan BW saja kok kamu bikin pusing?! Yo ben wae! Mau dia gugat Presiden, mau judicial review UU KPK, mau mengadu ke malaikat, mau teriak-teriak di media, mau kerahkan rombongan sirkus LSM, mau minta tolong ke negara asing, atau apa saja, gak usah jadi pikiranmu. Buat apa kamu terganggu oleh manuvernya? Biarkan saja BW menikmati statusnya yang sekarang. Biasanya kan dia menikmati penderitaan orang-orang yang digarap KPK? Biasanya dia tertawa di depan sorot kamera. Sekarang dia akan belajar merasakan sebagian kecil dari sengsaranya "pasien-pasien" KPK.
JKW : Jadi, gugatannya ke KPK itu gak akan masalah, ya Bung?
BK : Itu justru tanda telanjang bahwa dia itu haus kedudukan dan cinta jabatan yang berlebihan. Sudah tahu perintah UU, kok malah gugat UU? Biasanya KPK nyinyir kalau ada yang ajukan pengujian UU KPK. Kok malah sekarang BW jalankan apa yang selama ini ia nyinyiri itu?! Itu namanya "wolak-waliking jaman". Apa yang dulu dia sinis, sekarang dia jalankan. Itu namanya "ora ndhuwe isin", gak tahu malu. Urat malunya sudah putus!
JKW : Saya juga heran, ya Bung. Laporan yang masuk ke saya, BW ke mana-mana masih paka ID Card KPK di dadanya. Padahal, kan sudah saya berhentikan sementara? Dia pakai alasan masih Pimpinan KPK. Logika apa yang dia pakai?
BK : Gak usah kaget. Itu logika orang panik. Logika orang yang kehilangan kepercayaan diri. Selama ini dia gagah perkasa karena punya kartu identitas dan jabatan KPK. Setelah dicopot, dia merasa kehilangan nyawanya. Dia tahu nyawanya ada di kartu ID itu. Makanya ke mana-mana selalu dibawa. Biar pihak lain masih menghargai dia, masih memandang dia. Itulah logika orang yang terjangkit post-power syndrome. Gangguan jiwa karena kehilangan jabatan. Kamu jangan marah, Wi. Kamu justru harus merasa kasihan.
JKW : Saya juga kasihan, Bung. Tapi kok dia malah melawan, kan saya jadi agak mangkel juga?! Para pembantu saya bilang BW itu tidak tahu diri. Sudah saya cegah Badrodin dan Budi Waseso menahan dia, kok sekarang malah melawan saya?Apa itu gak kurang ajar namanya?
BK : Yo rapopo, Wi. Maklumi saja. Dia kaget juga karena perubahan posisi yang cepat. Biasa disanjung setinggi langit, sekarang statusnya tersangka. Aneh-aneh saja sikapnya. Manuver ini, manuver itu. Makanya kamu gak usah cegah Polisi menahan dia. Sebagai jagoan, kan biasa saja ditahan Polisi? Biar diuji, dia itu jagoan apa ayam babon. Kalau Samad kan sudah terbukti "ayam sayur". Baru diperiksa sebentar sudah kena maag. Biarkan saja BW tetap ngantor di KPK. Biarkan pakai alasan macam-macam. Itu makin menunjukkan BW gila jabatan dan menjadikan KPK sebagai bemper. Dia tidak cinta KPK. Dia terlalu mencintai dirinya sendiri.