Bukan Nomor Milik Pribadi
Tahun 2002, seorang teman kos memutuskan untuk membeli nomor perdana simPATI. Waktu itu harga kartu perdana tidak semurah sekarang. Dulu masih ratusan ribu, sekarang ribuan saja. Saya menemaninya membeli di sebuah konter pulsa, dulu konter pulsa juga masih terbatas jumlahnya. Saat itu saya sendiri belum mempunyai handphone, maklum pegawai rendahan belum mampu beli-beli barang mahal seperti itu.
Suatu ketika teman saya itu mengikuti pendidikan polisi di Semarang sehingga handphone-nya dititipkan pada saya sampai adiknya datang ke Jakarta. Handphone dan nomornya boleh saya pakai, waktu itu saya sedang proses perkenalan dengan calon istri jadi saya punya memori indah bersama handphone itu. Beberapa waktu berselang, adik teman saya datang dan meminta handphone abangnya. Pesan si abang (teman saya) nomornya boleh saya simpan. Jadilah saya mempunyai nomor simPATI milik teman saya.
Suatu ketika saya ada kegiatan yang mengharuskan saya perlu untuk sering berhubungan dengan teman-teman yang lain, karenanya saya memberanikan diri untuk meminjam handphone seorang abang (senior pendidikan) beberapa hari untuk kebutuhan itu. Jadilah nomor perdana saya aktif lagi, berpindah rumah ke handphone pinjaman. Entah kapan saya lupa, akhirnya saya untuk pertama kalinya mempunyai handphone sendiri. Bukan beli, tetapi diberi oleh kakak saya karena beliau mengganti handphonenya dengan model terbaru.
Akhirnya menjadi Nomor Pribadi
Sembilan bulan berlalu sejak teman saya itu pergi ke Semarang untuk menjalani pendidikan polisi. Ketika akhirnya ia pulang ke Jakarta, nomor simPATI miliknya diberikan kepada saya. Alasannya karena dia sudah punya nomor perdana yang baru, membeli ketika di Semarang. Dengan senang hati saya terima saja, toh walaupun tidak banyak saya pakai beberapa nomor penting telah terdaftar di phonebook simcard walaupun memorinya cuma mampu menyimpan 100 nomor.
Ketika saya menikah, akhir 2003 handphone saya pemberian kakak dan nomornya pinjaman teman. Di tahun 2004 keduanya sudah menjadi milik pribadi. Saya pun mendaftarkan diri saya sebagai anggota simPATIzone dengan nomor itu. Mulai saat itu saya berani bertukar nomor handphone dengan siapa saja dengan nomor itu sampai sekarang. Sebenarnya saya agak kesulitan dengan simcard lama ini karena memori yang terbatas, tetapi memori handphone cukup membantu keterbatasan itu. Entah apa memori simcard lama bisa diupgrade menjadi lebih besar dari hanya 100 nomor saja. Teorinya sih tidak bisa L
Meski demikian saya senang menggunakan kartu ini walaupun hanya untuk menelpon atau SMS, karena jarang bermasalah dan jaringannya pun hampir selalu ada di semua lokasi. Saya pernah membawanya ke Aceh, pedalaman Kalimantan bahkan ke luar negeri dan so far so good.
Masukan untuk Telkomsel
Sebagai pelanggan yang masih setia menggunakan layanan simPATI, saya mewakili pengguna dasar (telpon dan SMS) hendak memberikan beberapa masukan:
1.Pengguna dasar tidak terlalu membutuhkan fitur-fitur canggih, yang lebih dipentingkan selain kualitas jaringan/konektifitas adalah biaya yang bersaing.
2.simPATI pernah memberikan beberapa bonus, seperti SMS gratis dll tetapi sekarang tidak lagi padahal untuk fitur-fitur lain seperti internet itu sedang hot-hotnya bukan. Bonus adalah sesuatu yang menyenangkan.
3.Poin Telkomsel yang dulu bisa ditukar dengan pulsa atau SMS kini tidak bisa lagi, padahal untuk menukarkannya dengan undian juga memakan pulsa. Mengaktifkan penukaran poin adalah suatu kebijaksanaan.
Akhirnya saya berterima kasih atas layanan simPATI tetapi masih berharap peningkatan layanan ke depan. Semoga Telkomsel semakin mengerti kebutuhan pelanggan tanpa mengesampingkan pelanggan dasar seperti saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H