Mohon tunggu...
Abu Wafa
Abu Wafa Mohon Tunggu... -

belajar membuat mesin waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan 2013 yang Tak Pernah Terlambat Ditulis

3 Januari 2014   05:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, setiap orang menganggap tahun baru adalah tahun yang kultus, mengagungkan sebaik mereka memperlakukan kebaruan mereka. Mereka punya cara tersendiri untuk menyambut tahun baru.

Terumum, mereka rela begadang yang biasanya tak pernah begadang sampai penghitungan mundur detik-detik menjelang tahun baru, kemudian ditandai kembang api menyala-nyala di langit. Ditambah dengan jamuan jagung bakar, ayam bakar, atau apapun yang bisa dibakar. Bahkan, perbincangan saya dengan Cak Madi, tanggal 1 Januari 2014 di danau Unesa, menyebutkan bahwasanya harga jagung melejit naik dari curhatan seorang pengguna jasa becaknya. Saya sampai sekarang kurang mengerti kenapa malam tahun baru selalu lazim dengan selalu yang dibakar. Bisa saja untuk membakar tahun yang lalu, yang anggap saja telah tiada.

Ada pula yang menganggap malam tahun baru adalah malam-malam yang seperti biasanya, yang tak perlu diluarbiasakan. Mereka pun pergi tidur pada jam-jam biasanya mereka tidur, tanpa perlu mengorbankan mata untuk terus terjaga. Itu pun lumrah. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, masalah kebiasaan serta kesehatan. Masalah ini tidak bisa ditoleransi. Lebih baik mereka menjaga kesehatan ketimbang esoknya mereka jatuh sakit. Kedua, mereka anggap malam tahun baru seperti malam-malam biasanya dan tidak perlu ada upacara semacamnya sebagai pengkhususan. Ketiga, mereka bisa saja mencegah dari kehingarbingaran malam baru. Seperti yang kita tahu, malam tahun baru penuh dengan orang-orang yang menghabiskan waktu percuma.

Selain keduanya, ada yang melakukan perenungan. Bisa di dalam kamar sendirian, mengoreksi serta mencatat apa saja yang telah dilakukan di tahun sebelumnya lalu apa yang hendak dilakukan di tahun berikutnya. Bisa dengan melakukan perenungan bersama dengan orang-orang yang juga melakukan perenungan.

Ialah Serbuk Kayu, komunitas Seni di Surabaya, turut menyemarakkan malam tahun baru meskipun diadakan pada Senin, 30 Desember 2013, di taman Bungkul. Majik’jer, nama acaranya, sempat kucing-kucingan mengenai perizinan mengadakan acara di sana. Semula, diizinkan oleh polisi dengan syarat jika menggelar acara di tengah taman Bungkul, di lingkarannya yang ramai akan kerumunan, tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara. Namun, jika menggelar acara di dekat pos polisi dekat trotoar, dibolehkan menggunakan pengeras suara. Kami pun bersepakat memulai acara di dekat pos polisi.

Dimulai dengan performing art oleh Andi Cilik, mengusung tema Indonesia 2014. Dengan peralatan berbagai macam tepung, dicampur aduk dengan tambahan air. Setelah adonan kenyal, dibentuklah serupa peta Indonesia di atas triplek yang dia taruh di atas tempat sampah. Kemudian, di atas adonan, diletakkannya lilin-lilin kecil yang biasanya digunakan untuk ulang tahun. Andi pun mempersilakan penonton untuk menyalakan lilin-lilin tersebut. Semua lilin menyala. Dia pun menempelkan satu kertas potongan kecil-kecil dengan tulisan angka-angka. Kertas-kertas yang dia bawa telah ditempelkan pada sebatang lidi. Kemudian, kertas lainnya diberikan kepada penonton satu per satu, lalu mempersilakan penonton meletakkannya sekehendaknya. Sebagai penutup, dia mengucap beberapa kata mengenai Indonesia 2014. Saya lupa. Yang jelas, mengenai Indonesia 2013 dan selanjutnya, 2014.

Dilanjut dengan pembacaan puisi oleh Faisal Heart, lalu Cak Madi Om Ndewo. Lalu musikalisasi puisi oleh Ndamis dan selanjutnya saya lupa siapa namanya. Lalu, penampilan Noise Brut, kemudian disisipi penampilan Dominasi Kapitalis dengan ber-DJ. Lalu, pembacaan puisi oleh Toriq Fahmi tentang obrolan ibu-ibu mengenai tahun 2014.

Lalu saya? Saya tampil sebagai penutup. Kawan-kawan semula menduga saya hendak membacakan puisi. Saya tidak menyiapkan diri untuk membacakan puisi. Pasti pembacaan saya lebih buruk dari kawan-kawan lain. Jadi, jauh sebelum berangkat ke taman Bungkul, saya sudah menyiapkan kaos putih yang warnanya telah pudar dan usang, benang merah serta jarum, dan betadine serta plester. Stage yang saya pilih bahu trotoar walaupun sebenarnya kurang bagus penempatannya.

Dengan melepaskan jaket, kaos, lalu mengeluarkan semua isi dalam tas kecil saya, termasuk kaos usang tadi. Saya bentangkan kaos tadi sebagai alas barang-barang yang berbau kapitalis, seperti handphone, power bank, dompet, arloji. Di sebelahnya, saya letakkan barang-barang yang berbau pengetahuan, seperti buku catatan, bulpen, buku bacaan.

Dengan gerakan kesal, saya saruk semua barang berbau kapitalis ke sebelah kanan hingga terlempar jauh. Berikutnya, saya ambil silet di dalam dompet untuk membelah kaos saya hampir benar-benar terbelah. Di dalam tas, saya keluarkan benang merah beserta jarumnya. Saya sempat kesusahan memasukkan benang merah ke dalam jarum. Selain tangan saya yang bergemetar pasalnya lamanya memasukkan jarum atau mungkin grogi, juga karena lubang jarum yang sangat kecil nan sempit ditambah benang merahnya yang kecil serta lemas. Tanpa mengurangi penampilan saya, saya meminta bantuan kawan-kawan untuk memasukkan benang merah ke dalam jarum. Saya pun tetap beraktivitas dengan mengeluarkan barang-barang lain di dalam tas kecil saya.

Sesudah benang merah bisa masuk, saya menjahit kaos saya mulai dari atas hingga bawah. Saat saya menusuk jarum ke kaos, saya merintih mengucap,”SIA!” Dengan nada marah, jengkel, sedih, saya menjahit kaos saya hingga terjahit tidak rapi. Lalu, saya gelar kaos saya di trotoar, saya torehkan cairan betadine di bagian atas kaos dengan gerakan rancak. Setelahnya, saya pantulkan betadine, sembari berdiri, saya mengucap,”Beginilah, Indonesia 2014.”

Bendera Indonesia, sejak tahun 1945, sudahlah usang serta luntur warna merahnya. Benderanya mungkin sudah robek di sana-sini. Jadi, kita sebagai bangsa Indonesia, patut untuk menjahitnya bersama serta mewarnai bendera Indonesia dengan warna merah semerah-merahnya agar Indonesia kembali ke Indonesia sebenarnya.

Untuk performing art saya yang pertama, disayangkan satu hal: tidak ada dokumentasi video. Saya lupa tidak membawa kamera digital.

Tidak berhenti di situ saja. Andi Cilik menggagas acara baca puisi 24 jam di gerbang Unesa Lidah Wetan, dimulai pukul 23:59 WIB tertanggal 31 Desember 2013 hingga 23:59 WIB, tertanggal 1 Januari 2014. Saya tidak mengikuti acara baca puisi tepat tutup tahun 2013 itu. Pasalnya, ada acara keluarga di rumah. jadi, lebih baik saya pulang menjaga stamina untuk membaca puisi keesokan harinya.

Tanggal 1 Januari 2014, saya sampai di Surabaya pukul 10 pagi. Sebelum turut meramaikan acara, terlebih dahulu mengambil gambar untuk membuat film pendek, tugas apresiasi film. Baru setelah itu, saya turut membaca puisi hingga pukul 23:59 WIB. Saya salut dengan Cak Madi, seorang penyair, yang kuat tidak tidur sama sekali saat acara berlangsung. beliau terkadang bermain dengan becaknya, kadang menulis puisi di pojokan, kadang melamun. Sebelumnya, Cak Madi memang pernah mengadakan acara baca puisi sendiri 36 jam untuk memperingati hari Pahlawan pada tahun 2011.

Saya berterima kasih kepada 2013. Gagasan saya dimuat di Jawa Pos, tertanggal 8 Mei 2013. Lalu, dua cerpen saya sempat juara ketiga di dua perlombaan menulis cerpen. Sebagai dalih, saya menganggap saya diletakkan sebagai juara ketiga agar saya tidak cepat puas dengan karya-karya saya. Berikutnya, saya dikenal oleh Mardi Luhung pasalnya saya bercerita kepada beliau bahwasanya cerpen saya mendapat juara ketiga. Saya pun dimotivasi oleh Mardi Luhung untuk terus menulis cerpen. Dia lalu merekomendasikan agar saya mengirim cerpen saya ke Bali Pos yang ditangani oleh Oka Rusmini. Berikutnya, beberapa puisi saya mendapat tempat di majalah sastra UNJ, Stomata.

Mengenai kejurnalistikan, saya juga ada cerita. Saya mengikuti diklat dasar jurnalistik yang diadakan LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam), di bawah naungan HMI cabang Surabaya. Kami bertiga: Saya, Faisal, dan Wulan, orang dengan semester tua di antara mahasiswa baru yang mengikuti acara. Dengan pura-pura serta menyimpan tawa, kami mengaku tengah semester semester 3.

Beberapa pelajaran saya dapat dari sana melebihi kuliah jurnalistik di kampus saya walaupun hanya empat jam yang saya ikuti, mulai pukul satu siang hingga pukul enam sore. Acara tersebut benar-benar mengisi ulang semangat saya di serta luar dunia kepenulisan.

Mengenai perkuliahan serta pendidikan, saya hendak memperbaiki jalannya. Saya tak berharap ingin menjadi pengajar muda di Indonesia Mengajar. Jika diizinkan, saya pun bisa dengan mudah mengikutinya. Lewat open house Indonesia Mengajar, saya pun tergugah menyumbangkan ilmu saya kepada anak-anak bangsa yang kurang mendapat pendidikan jika dikehendaki.

Saya tak muluk hendak melakukan apa di tahun 2014. Bagi saya, setiap hari adalah tahun baru. Andai, sekarang tahun lama, dan besok adalah tahun baru, berarti secara logika, besok lusa adalah tahun yang lebih baru. Seperti semula dan biasanya, di tahun ini, selanjutnya, dan selanjutnya, saya melakukan apa yang bisa saya lakukan, saya raih apa yang bisa saya raih, saya pijak apa yang bisa saya pijak, serta saya injak apa yang bisa saya injak. Berkilo-kilo meter jarak selalu dimulai dari satu langkah yang berarti. Itulah waktu.

Menuju 2014.

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, setiap orang menganggap tahun baru adalah tahun yang kultus, mengagungkan sebaik mereka memperlakukan kebaruan mereka. Mereka punya cara tersendiri untuk menyambut tahun baru.

Terumum, mereka rela begadang yang biasanya tak pernah begadang sampai penghitungan mundur detik-detik menjelang tahun baru, kemudian ditandai kembang api menyala-nyala di langit. Ditambah dengan jamuan jagung bakar, ayam bakar, atau apapun yang bisa dibakar. Bahkan, perbincangan saya dengan Cak Madi, tanggal 1 Januari 2014 di danau Unesa, menyebutkan bahwasanya harga jagung melejit naik dari curhatan seorang pengguna jasa becaknya. Saya sampai sekarang kurang mengerti kenapa malam tahun baru selalu lazim dengan selalu yang dibakar. Bisa saja untuk membakar tahun yang lalu, yang anggap saja telah tiada.

Ada pula yang menganggap malam tahun baru adalah malam-malam yang seperti biasanya, yang tak perlu diluarbiasakan. Mereka pun pergi tidur pada jam-jam biasanya mereka tidur, tanpa perlu mengorbankan mata untuk terus terjaga. Itu pun lumrah. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, masalah kebiasaan serta kesehatan. Masalah ini tidak bisa ditoleransi. Lebih baik mereka menjaga kesehatan ketimbang esoknya mereka jatuh sakit. Kedua, mereka anggap malam tahun baru seperti malam-malam biasanya dan tidak perlu ada upacara semacamnya sebagai pengkhususan. Ketiga, mereka bisa saja mencegah dari kehingarbingaran malam baru. Seperti yang kita tahu, malam tahun baru penuh dengan orang-orang yang menghabiskan waktu percuma.

Selain keduanya, ada yang melakukan perenungan. Bisa di dalam kamar sendirian, mengoreksi serta mencatat apa saja yang telah dilakukan di tahun sebelumnya lalu apa yang hendak dilakukan di tahun berikutnya. Bisa dengan melakukan perenungan bersama dengan orang-orang yang juga melakukan perenungan.

Ialah Serbuk Kayu, komunitas Seni di Surabaya, turut menyemarakkan malam tahun baru meskipun diadakan pada Senin, 30 Desember 2013, di taman Bungkul. Majik’jer, nama acaranya, sempat kucing-kucingan mengenai perizinan mengadakan acara di sana. Semula, diizinkan oleh polisi dengan syarat jika menggelar acara di tengah taman Bungkul, di lingkarannya yang ramai akan kerumunan, tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara. Namun, jika menggelar acara di dekat pos polisi dekat trotoar, dibolehkan menggunakan pengeras suara. Kami pun bersepakat memulai acara di dekat pos polisi.

Dimulai dengan performing art oleh Andi Cilik, mengusung tema Indonesia 2014. Dengan peralatan berbagai macam tepung, dicampur aduk dengan tambahan air. Setelah adonan kenyal, dibentuklah serupa peta Indonesia di atas triplek yang dia taruh di atas tempat sampah. Kemudian, di atas adonan, diletakkannya lilin-lilin kecil yang biasanya digunakan untuk ulang tahun. Andi pun mempersilakan penonton untuk menyalakan lilin-lilin tersebut. Semua lilin menyala. Dia pun menempelkan satu kertas potongan kecil-kecil dengan tulisan angka-angka. Kertas-kertas yang dia bawa telah ditempelkan pada sebatang lidi. Kemudian, kertas lainnya diberikan kepada penonton satu per satu, lalu mempersilakan penonton meletakkannya sekehendaknya. Sebagai penutup, dia mengucap beberapa kata mengenai Indonesia 2014. Saya lupa. Yang jelas, mengenai Indonesia 2013 dan selanjutnya, 2014.

Dilanjut dengan pembacaan puisi oleh Faisal Heart, lalu Cak Madi Om Ndewo. Lalu musikalisasi puisi oleh Ndamis dan selanjutnya saya lupa siapa namanya. Lalu, penampilan Noise Brut, kemudian disisipi penampilan Dominasi Kapitalis dengan ber-DJ. Lalu, pembacaan puisi oleh Toriq Fahmi tentang obrolan ibu-ibu mengenai tahun 2014.

Lalu saya? Saya tampil sebagai penutup. Kawan-kawan semula menduga saya hendak membacakan puisi. Saya tidak menyiapkan diri untuk membacakan puisi. Pasti pembacaan saya lebih buruk dari kawan-kawan lain. Jadi, jauh sebelum berangkat ke taman Bungkul, saya sudah menyiapkan kaos putih yang warnanya telah pudar dan usang, benang merah serta jarum, dan betadine serta plester. Stage yang saya pilih bahu trotoar walaupun sebenarnya kurang bagus penempatannya.

Dengan melepaskan jaket, kaos, lalu mengeluarkan semua isi dalam tas kecil saya, termasuk kaos usang tadi. Saya bentangkan kaos tadi sebagai alas barang-barang yang berbau kapitalis, seperti handphone, power bank, dompet, arloji. Di sebelahnya, saya letakkan barang-barang yang berbau pengetahuan, seperti buku catatan, bulpen, buku bacaan.

Dengan gerakan kesal, saya saruk semua barang berbau kapitalis ke sebelah kanan hingga terlempar jauh. Berikutnya, saya ambil silet di dalam dompet untuk membelah kaos saya hampir benar-benar terbelah. Di dalam tas, saya keluarkan benang merah beserta jarumnya. Saya sempat kesusahan memasukkan benang merah ke dalam jarum. Selain tangan saya yang bergemetar pasalnya lamanya memasukkan jarum atau mungkin grogi, juga karena lubang jarum yang sangat kecil nan sempit ditambah benang merahnya yang kecil serta lemas. Tanpa mengurangi penampilan saya, saya meminta bantuan kawan-kawan untuk memasukkan benang merah ke dalam jarum. Saya pun tetap beraktivitas dengan mengeluarkan barang-barang lain di dalam tas kecil saya.

Sesudah benang merah bisa masuk, saya menjahit kaos saya mulai dari atas hingga bawah. Saat saya menusuk jarum ke kaos, saya merintih mengucap,”SIA!” Dengan nada marah, jengkel, sedih, saya menjahit kaos saya hingga terjahit tidak rapi. Lalu, saya gelar kaos saya di trotoar, saya torehkan cairan betadine di bagian atas kaos dengan gerakan rancak. Setelahnya, saya pantulkan betadine, sembari berdiri, saya mengucap,”Beginilah, Indonesia 2014.”

Bendera Indonesia, sejak tahun 1945, sudahlah usang serta luntur warna merahnya. Benderanya mungkin sudah robek di sana-sini. Jadi, kita sebagai bangsa Indonesia, patut untuk menjahitnya bersama serta mewarnai bendera Indonesia dengan warna merah semerah-merahnya agar Indonesia kembali ke Indonesia sebenarnya.

Untuk performing art saya yang pertama, disayangkan satu hal: tidak ada dokumentasi video. Saya lupa tidak membawa kamera digital.

Tidak berhenti di situ saja. Andi Cilik menggagas acara baca puisi 24 jam di gerbang Unesa Lidah Wetan, dimulai pukul 23:59 WIB tertanggal 31 Desember 2013 hingga 23:59 WIB, tertanggal 1 Januari 2014. Saya tidak mengikuti acara baca puisi tepat tutup tahun 2013 itu. Pasalnya, ada acara keluarga di rumah. jadi, lebih baik saya pulang menjaga stamina untuk membaca puisi keesokan harinya.

Tanggal 1 Januari 2014, saya sampai di Surabaya pukul 10 pagi. Sebelum turut meramaikan acara, terlebih dahulu mengambil gambar untuk membuat film pendek, tugas apresiasi film. Baru setelah itu, saya turut membaca puisi hingga pukul 23:59 WIB. Saya salut dengan Cak Madi, seorang penyair, yang kuat tidak tidur sama sekali saat acara berlangsung. beliau terkadang bermain dengan becaknya, kadang menulis puisi di pojokan, kadang melamun. Sebelumnya, Cak Madi memang pernah mengadakan acara baca puisi sendiri 36 jam untuk memperingati hari Pahlawan pada tahun 2011.

Saya berterima kasih kepada 2013. Gagasan saya dimuat di Jawa Pos, tertanggal 8 Mei 2013. Lalu, dua cerpen saya sempat juara ketiga di dua perlombaan menulis cerpen. Sebagai dalih, saya menganggap saya diletakkan sebagai juara ketiga agar saya tidak cepat puas dengan karya-karya saya. Berikutnya, saya dikenal oleh Mardi Luhung pasalnya saya bercerita kepada beliau bahwasanya cerpen saya mendapat juara ketiga. Saya pun dimotivasi oleh Mardi Luhung untuk terus menulis cerpen. Dia lalu merekomendasikan agar saya mengirim cerpen saya ke Bali Pos yang ditangani oleh Oka Rusmini. Berikutnya, beberapa puisi saya mendapat tempat di majalah sastra UNJ, Stomata.

Mengenai kejurnalistikan, saya juga ada cerita. Saya mengikuti diklat dasar jurnalistik yang diadakan LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam), di bawah naungan HMI cabang Surabaya. Kami bertiga: Saya, Faisal, dan Wulan, orang dengan semester tua di antara mahasiswa baru yang mengikuti acara. Dengan pura-pura serta menyimpan tawa, kami mengaku tengah semester semester 3.

Beberapa pelajaran saya dapat dari sana melebihi kuliah jurnalistik di kampus saya walaupun hanya empat jam yang saya ikuti, mulai pukul satu siang hingga pukul enam sore. Acara tersebut benar-benar mengisi ulang semangat saya di serta luar dunia kepenulisan.

Mengenai perkuliahan serta pendidikan, saya hendak memperbaiki jalannya. Saya tak berharap ingin menjadi pengajar muda di Indonesia Mengajar. Jika diizinkan, saya pun bisa dengan mudah mengikutinya. Lewat open house Indonesia Mengajar, saya pun tergugah menyumbangkan ilmu saya kepada anak-anak bangsa yang kurang mendapat pendidikan jika dikehendaki.

Saya tak muluk hendak melakukan apa di tahun 2014. Bagi saya, setiap hari adalah tahun baru. Andai, sekarang tahun lama, dan besok adalah tahun baru, berarti secara logika, besok lusa adalah tahun yang lebih baru. Seperti semula dan biasanya, di tahun ini, selanjutnya, dan selanjutnya, saya melakukan apa yang bisa saya lakukan, saya raih apa yang bisa saya raih, saya pijak apa yang bisa saya pijak, serta saya injak apa yang bisa saya injak. Berkilo-kilo meter jarak selalu dimulai dari satu langkah yang berarti. Itulah waktu.

Menuju 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun