[caption id="attachment_396971" align="aligncenter" width="624" caption="Sumber: Ilustrasi, Suasana sidang gugatan praperadilan Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015) (kompas.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO)"][/caption]
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa kalau hari ini ada keputusan pra-pradilan Komjen Budi Gunawan, maka hari ini Presiden Jokowi akan mengambil keputusan tentang pengangkatan atau pembatalan pengangkatan Kapolri. Kalau keputusan pra-pradilan besok atau minggu depan, keputusan Presiden juga besok atau minggu depan. Menko Polhukam juga "menyalahkan" lambatnya keputusan Presiden karena molornya proses pra-pradilan.
Jika demikian, tampaknya keputusan pra-peradilan Komjen BG akan menentukan arah keputusan Presiden. Dengan kata lain, nasib hari depan Polri dan KPK, nasib Nawa Cita, nasib pemberantasan korupsi, nasib pemerintahan yang bersih, atau dengan kata lain nasib bangsa ini ada ditangan seorang hakim tunggal yang mengadili pra-pradilan kasus tersangka Komjen BG.
Alangkah beratnya tanggung jawab hukum dan moral yang dibebankan kepada hakim itu sendirian. Alangkah beraninya hakim itu menerima tugas begitu berat. Sama beratnya dengan seandainya seorang mantri atau perawat diminta untuk menentukan obat bagi pasien yang sakit keras karena sang dokter ragu-ragu dan khawatir preskripsi atau obatnya keliru.
Atau, seorang wasit sepak bola diminta memilih pemain dalam tim agar timnya menang karena manajer tim takut salah pilih. Atau, seorang ayah minta anaknya memutuskan apakah dia harus menceraikan istrinya atau ibu anak-anaknya karena sang ayah bimbang dan bingung.
Karena rentang kendali yang begitu lebar, sering kali seorang pemimpin harus mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan. Dan itu merupakan prinsip manajemen yang wajar dan sehat karena tidak mungkin dia mengambil semua keputusan sendiri dengan akibat tidak efektif dan terlambat.
Namun demikian, ada keputusan-keputusan tertentu yang tidak bisa didelegasikan. Dalam bisnis contohnya keputusan untuk akuisisi, investasi pada bidang baru, penutupan unit usaha dan sejenisnya. Keputusan ini hanya boleh diambil oleh top management.
Adalah juga prinsip manajemen bahwa tugas dan wewenang boleh didelegasikan tetapi tanggung jawab tidak bisa. Kesalahan apapun yang dilakukan oleh bawahan yang diberi wewenang oleh atasan, tanggung jawab akhir tetap ada di pimpinan.
Prinsip lain dalam pengambilan keputusan adalah makin banyak informasi yang didapat sebagai dasar pengambilan keputusan, makin baik kualitas keputusannya. Masalahnya adalah waktu. Bisa saja keputusan bagus tetapi terlambat dan menjadi tidak efektif karena terlalu lama mengumpulkan berbagai pertimbangan dan informasi.
Dalam kasus Polri versus KPK ini presiden tidak mendelegasikan wewenangnya kepada hakim pra-peradilan karena hakim bukan bawahannya dan itu adalah bagian dari praktik hukum. Akan tetapi, dengan menunggu keputusan sang hakim, praktis dampaknya sama dengan meminta orang lain untuk memutuskan sesuatu yang hanya presiden punya hak untuk memutuskan. Keputusan hakim bisa benar bisa salah, tetapi akibat dari keputusan itu menjadi tanggung jawab presiden bila presiden mendasarkan keputusannya kepada keputusan hakim.
Menunggu vonis hakim dan molornya sidang pra-peradilan membuat keputusan presiden berlarut-larut dan bisa menjadi tidak efektif bila terlambatnya keputusan ini telah berakibat kepada munculnya gejala anarkisme dan main hakim sendiri atau meluasnya pertarungan kubu-kubu antara pendukung Polri dan KPK.
Mudah-mudahan itu semua tidak terjadi dan mudah-mudahan saya salah tangkap atas maksud sebenarnya dari pernyataan wakil presiden diatas.
AT - 120215