Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nafsu Berkuasa

23 Juli 2016   11:48 Diperbarui: 23 Juli 2016   12:34 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita dugaan penipuan baru-baru ini oleh wakil sekjen Partai Demokrat dalam rangka Pilkada Kota Medan tahun lalu sekali lagi menguak tabir kelemahan sistem demokrasi liberal kita. Kasus-kasus sejenis ini sudah terlalu sering terjadi. Selama ini kita melihatnya lebih banyak dari sisi politik uang. Akan tetapi ada sisi lain yang sering luput dari observasi kita, yaitu sisi karakter dan niat politisi.

Ada semacam nafsu meraih jabatan yang menguasai benak politisi. Nafsu berkuasa yang berlebih itu seringkali membuat seseorang buta atau menjadi tidak rasional dan bodoh. Tidak mampu mengukur dirinya. Baik dari sisi kompetensi maupun akseptabilitasnya di daerah pemiliham.  Bahkan lebih dari itu, tidak jarang dia akan berbuat segala sesuatu yang melanggar etika dan moral guna menjatuhkan lawannya demi meraih kemenangan.

Dorongan nafsu yang berlebih itu kemudian juga menjadikannya bak seorang penjudi. Tidak peduli berapapun biaya yang diperlukan untuk menang, dia akan berupaya mengorek seluruh kekayaannya sendiri atau meminjam dari sana sini. Si politisi berpikir akan mengembalikan pinjamannya dari jalur kekuasaan yang diraihnya dan sang kreditor menganggap pinjaman yang diberikan kepada politisi merupakan investasi yang hasilnya akan diperoleh dari proyek-proyek hasil balas jasa dan kebaikan hati sang penguasa terpilih.

Bisa jadi para politisi baru yang terjerumus ini tadinya adalah orang-orang baik dan bersahaja. Namun lingkungan berdemokrasi pasca reformasi setengah hati yang tercipta sejauh ini masih banyak tercemarkan oleh sisa-sisa praktik orde baru yang menghalalkan cara. Orang-orang  baru dalam politik ini kemudian berguru kepada politisi lama yang dianggapnya paling paham cara memanfaatkan jabatannya.

Ada anekdot terkenal tentang kakek Indian yang memberi tahu cucunya bahwa dalam diri setiap manusia bersemayam dua serigala yang berseteru. Serigala yang baik, jujur, ikhlas, dan bermoral lawan serigala jahat, agresif, rakus, dan pemangsa. Ketika si anak bertanya siapa yang akan menang dalam peseteruan itu, sang kakek menjawab pemenangnya adalah serigala yang kita beri makan.

Nafsu berasal dari bahasa Arab nafs yang berarti jiwa atau diri sejati kita yang tak tampak dari luar. Dalam ajaran Islam, serigala jahat itu diberi nama nafs amarah dan serigala baik namanya nafs mutmainnah. Diantara keduanya ada nafsu penengah yang bernama nafs lawwamah. Islam juga mengajarkan bahwa akal itu tempatnya di hati, bukan di otak. Karenanya, orang yang berakal itu tidak mesti orang pandai tapi orang yang mampu mengendalikan dirinya.

Para pencari kekuasaan
Kekuasaan memang menggiurkan. Bahkan orang yang sangat kaya pun ketika telah mencapai puncak kenikmatan materi banyak yang  masih tergoda dan berkeinginan untuk berkuasa. Kekuasaan dipandang sebagai peluang membuat orang lain mengikuti kehendaknya. Memberi keleluasaan untuk mengendalikan dan memerintah orang lain dalam lingkup yang lebih luas. Dalam bahasa kita ada kekeliruan fatal dalam menerjemahkan kosakata government sebagai pemerintah, bukan pengelola atau pelayan. 

Begitu pulalah pandangan pencari kekuasaan. Bukan mencari kekuasaan dengan niat berbakti atau melayani atau mengaktualisasikan visinya  tetapi untuk memerintah dan meraih penghormatan sekaligus kenikmatan materi. Sebagian lagi politisi kita melihat peluang menjadi bupati, walikota, atau anggota legislatif seakan sebagai lowongan pekerjaan dengan fasilitas dan martabat yang menggiurkan. Bukan sebuah tanggung jawab dan tantangan untuk berbuat bagi kebaikan masyarakat.

Politisi jenis ini ketika terpilih akan menjadi penguasa dalam arti sebenarnya. Kehormatan yang diraihnya tak boleh lepas dari tangannya. Dia menganggap orang lain tak setara dengannya sehingga akan tersinggung bila diperlakukan sama dengan orang lain. Dari seorang yang tadinya bukan siapa-siapa menjadi seorang yang berstatus tinggi. From a nobody becomes somebody. Pejabat jenis ini bisa berbahaya karena segala cara akan dilakukannya untuk melanggengkan kekuasaannya agar dia tak kembali menjadi bukan siapa siapa.

Memang segala sesuatu yang baik itu bersumber dari akhlak dan moral yang baik. Tidak terkecuali praktik kehidupan demokrasi kita. Sistem dan hukum bisa tangguh tetapi bila diisi oleh mereka yang lemah karakternya akan termanipulasi dengan berbagai cara. Biaya berdemokrasi yang sangat tinggi harus diturunkan serendah mungkin agar ekses-ekses persaingan berdasar kekuatan uang dapat ditekan. Agar pula mereka yang berkompetensi dan berkarakter tertarik ikut bertanding secara jujur dalam kancah kekuasaan. 

Rasa tidak tahu diri dan spekulasi politisi dalam mengajukan dirinya sebagai calon penguasa harus diatasi dengan langkah partai pengusung menugaskan survei-survei independen yang bertanggung jawab guna menentukan akseptibilitas dan elektibilitas berbagai calon sebelum menentukan pilihan. Media massa harus membantu mensosialisasikan program-program calon yang dianggap baik, bukan melulu mencari keuntungan dari iklan kampanye. Pengawasan yang ketat atas dana kampanye serta penegakan hukum atas pelanggaran dalam bentuk politik uang agar diefektifkan  bila persaingan dalam demokrasi ingin ditingkatkan mutunya. Kesemuanya ini bukan hanya akan membantu mewujudkan demokrasi yang sehat tetapi juga menyelamatkan negeri ini dari petualang-petualang politik yang bisa menjerumuskan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun