Para dai berlomba berebut umat. Makin besar jumlah pengikutnya makin kesohor dan terhormat kedudukannya. Umat dianggap sebagai pasar tempat persaingan usaha. Sebagian dai ini kemudian ada yang menjajakan umatnya ke partai politik yang memang kerjanya mencari dukungan suara. Dari situ terjadi beberapa konsekuensi yang merisaukan dalam bentuk perdagangan suara umat.
Ketika semua itu menjadi titik fokus dakwah, dunia sebagai tempat kita mengembangkan diri dan menanam amal sebagai bekal bagi kehidupan abadi di akhirat terlupakan. Paling sedikit seminggu sekali kita mendengar khotbah ulama di mimbar sholat Jum'at. Nyaris dari mulut khatib di mana pun tidak terdengar khotbah yang memberi semangat untuk hidup di sini dan kini. Tidak ada dorongan untuk menuntut ilmu dan bergiat dalam usaha. Yang kita dengar adalah ancaman neraka, tawaran surga, dan kecaman terhadap "musuh-musuh" Islam. Dalam kategori musuh-musuh Islam itu pun dimasukkan mereka yang alirannya tidak sejalan dengan pengkhotbah.
Sementara kita tak henti-hentinya berkhotbah menyampaikan penguatan akidah dan ancaman neraka, bangsa lain berlomba memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan taraf ekonominya. Ulama berselisih tentang cara beribadah, sedangkan kemiskinan dan keterbelakangan di sekitarnya diacuhkan. Ketika kita sibuk berebut akhirat, mereka merebut dunia. Jangan-jangan kita kehilangan dua-duanya. Dunia lenyap dari tangan kita, akhirat pun lepas.
Hidup termasuk kehidupan beragama adalah sebuah pilihan. Islam menawarkan kehidupan hasanah dan berimbang di dunia dan akhirat. Mengembangkan kehidupan positif di bumi, persaudaraan manusiawi dan landasan moral yang benar adalah modal utama kehidupan di akhirat kelak. Bukan monopoli kebenaran dengan menarik garis merah antara aku dan kamu, kita dan mereka.
Selamat tahun baru, Sahabat.
AT - 02-01-16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H