“A lie is a lie. Just because they write down and called history doesn't make it truth. We are livin in the world that seeing is not believing. That only few know, what really happen. We living in the world what everything you know is wrong.”
(Call of Duty - Black Ops)
Seharusnya aku sudah pensiun, tidak mau lagi terlibat dengan masalah-masalah negara. Aku sudah gantung kaca mata, tidak pernah mau lagi terlibat dengan berbagai skandal pejabat baik itu masalah ekonomi, hukum maupun ideologi. Aku memang sudah menarik diri, akan tetapi namaku akan selamanya tertulis di balik dinginnya tembok-tembok kekuasaan.
Dunia yang kuhindari itu, selalu saja menjadi tempat yang paling berkabut, tidak ada orang yang benar-benar bisa melihat kawannya, sebagaimana mereka begitu mencurigai bahwa setiap orang adalah musuhnya. Celakanya, ketika aku bisa melihat seseorang itu adalah kawanku, tetap saja aku tidak diperbolehkan untuk begitu saja percaya bahwa dia adalah kawan.
***
Seluruh keluargaku sudah terlelap, ketika tiba-tiba di dalam ruang bacaku sudah terduduk seorang lelaki, dua lelaki lainya terlihat berjaga-jaga di mulut pintu.
“Aku ini sudah tua, rupanya ada tamu yang masih mencariku.” Ucapku setelah menyadari kehadiran mereka yang tidak aku ketahui.
Ada rasa cekam, seharusnya aku bisa mendeteksi kedatangan mereka, jangankan manusia, cecak pun aku bisa mendengar gerakannya. Tapi, tiga orang ini sama sekali senyap.
“Jendral Sadun, negara sedang terancam, masa depan bangsa ini dalam keadaan kritis, kiamat.” Ucap lelaki yang terduduk tenang di atas sofa.
“Aku ini sudah beruban, akalku sudah habis. Aku tidak ingin kembali ke dalam kotak Pandora itu.” Bagiku negara lebih sering terlihat seperti kontak Pandora. Muasal dari berbagai bencana yang menggila di kehidupan rakyat jelata.
“Harus ada yang menyelamatkan negara ini, harus ada yang menyelesaikan bencana. Kami datang ke sini untuk membawa Jendral.”
Tiga orang lelaki itu tentu intel super elit, semacam bedil sniper negara yang paling rahasia. Hanya mereka yang bisa menyusup ke dalam rumahku dengan selamat. Apakah mereka benar-benar hebat, lebih hebat dariku atau karena aku yang sudah benar-benar renta, aku tidak tahu.
Meskipun aku sudah renta dan ubanan, aku pernah berkuasa atas kehidupan, keamanan dan stabilitas negara ini. Aku memiliki banyak telinga, memiliki ribuan pasang mata. Informasi sekecil apapun yang berhembus di celah kursi-kursi parlemen dan meja-meja direktur perusahaan besar di negara ini, aku pasti mendengarnya, bahkan informasi yang paling rahasia yang disampaikan dengan cara paling berbisik sekali pun.
“Aih, kalian ini kenapa menjadi cengeng? Lihatlah Jerman dan Jepang, dulu mereka negara yang babak belur, tidak hanya kehilangan sekian trilyun, bukan cuma digondol maling. Mereka hancur menjadi debu dan puing, mereka kehilangan segala-galanya. Atau lihat deh yang sekarang-sekarang terjadi, Libia, negara ini juga babak belur, digembosi, mereka tidak merengek. Mereka bak kesatria yang bertarung sampai patahan pedang terakhir menghadapi raksasa teknologi dari segala penjuru bumi.”
“Kita sedang tidak berperang Jenderal, kita sedang kiamat.”
“Di dalam kehidupan bernegara itu, setiap hari adalah perang. Setiap detik adalah ancaman kiamat. Kalian tidak usah lebay.” Rupanya elit negara hari ini semakin cengeng, hiperbolis, jijik aku mendengarnya.
“Kalian sebagai intel super elit, seharusnya mengerti. Akan selalu ada tangan-tangan yang menginginkan negara ini tetap dalam gejolak. Tugas kalianlah untuk memasang seribu mata, seribu telinga. Tidak perlu curhat, itu tidak akan menyelesaikan masalah.”
Tiga intel senyap itu mengangguk-angguk, menikmati wejanganku. Aku pun semakin menjadi, berkhotbah bak dewanya para nabi, aku tidak mau tiga intel itu membawaku kembali mengurusi masalah negara bahkan dengan alasan tragedi century yang menurut mereka disebut-sebut kiamat itu. Halah, lebay!
“Masalahnya tidak securhat itu Jendral, kami benar-benar kehilangan akal. Bencana ini terjadi karena Operasi Senyap…” Lelaki yang dari tadi menunggui mulut pintu, kini berbicara.
“Operasi Senyap. Aku sudah menduganya, mataku banyak. Kalian saja yang ketinggalan, kerjanya tidur mulu. Pemimpinnya juga bisnis mulu.” Aku menatapnya dengan sudut mata.
“Jangankan kami, Presiden dan Bapak Wakil Presiden juga tidak tahu menahu perihal Operasi Senyap ini. Tiba-tiba saja terjadi, uang negara hilang, republik ini digondol maling.” Ucap intel di atas kursi sofa.
“Kalian ini memalukan, sebagai intel super elit, tidak seharusnya ada yang luput. Kalian dijadikan intel agar bisa merekam semua peristiwa dan kemungkinan yang akan terjadi di negara ini, dengan cara apa saja. Jadi intel itu tidak ada warna hitam, tidak ada abu-abu, semuanya putih, semuanya dibenarkan. Kalau butuh informasi; kalian cari saja, kalau tidak ketemu curilah, kalau tidak bisa dicuri kalian rekayasa informasinya. Itulah tugas kalian, seperti aku juga dulu. Sekarang apa yang bisa kulakukan?”
“Tragedi Century itu Jendral, selesaikanlah.”
“Ha ha ha… Kalian pikir aku ini dewa? Kalian pikir bisa selesai pakai pistol? Aku bisa saja melakukan operasi yang lebih senyap, tapi untuk apa? Aku bisa menyeret pelaku-pelakunya ke bawah batu nisan. Akan tetapi, aku sudah tidak berhasrat lagi dengan negara.”
“Rakyat benar-benar membutuhkan tangan Anda, Jendral.”
“Tidak perlu bawa-bawa rakyat. Aku sudah ribuan kali mengatasnamakan rakyat, lagian siapa aku ini? Hanyalah lelaki renta yang telah ribuan kali berganti nama. Hanya lelaki yang ribuan kali melenyapkan nyawa. Apa dayaku di antara gigantisme durjana-durjana itu? Bukankah presiden kalian juga tak berdaya?”
“Tapi… masa depan bangsa ini sedang dalam ancaman kiamat Jendral.” Ucap lelaki di atas sofa dengan wajah serius.
“Negara mana yang masa depannya tidak terancam?” Tanyaku.
***
Tiga intel itu berwajah murung itu sudah menceritakan habis-habisan perihal musibah negara terbaru yang mereka pikir adalah yang terbesar. Aku hanya ingin terpingkal-pingkal saja, hanya ingin menghabiskan malam itu sebagai dagelan paling konyol yang harus dinikmati negara.
Kabar tentang Operasi Senyap itu, bukan barang baru bagiku. Itu mainan lama yang sudah biasa. Masalah kealpaan Presiden dan wakilnya, itu bukan ukuran dari seberapa hebat tendesi ancaman besar itu. Bagiku itu semata ukuran kebodohan negara yang bisa dikibuli segelintir orang, para pemilik modal dan maling berjubah undang-undang.
“Sebentar lagi subuh, sebaiknya kalian pulang saja.”
Aku mengusir tamu-tamu itu, tiga intel super elit yang berwajah murung. Aku sudah bersumpah untuk tidak lagi terlibat dalam berbagai masalah politik, ekonomi, keamanan dan apa pun di negara ini.
Kriiiing… Ponsel di atas meja berdering, aku meraihnya kemudian berdiri menjauh dari tamu-tamuku yang belum juga pulang.
“Selamat malam, mawar sedang tertidur. Angin macam apa yang memetik mimpinya?” Ucapku, memakai bahasa sandi. Aku tahu nomor yang menghubungiku itu nomor intel. Aku harus bicara dengan bahasa sandi agar tiga intel itu meskipun menguping setidaknya butuh waktu untuk mengetahui isi percakapan kami.
Lelaki di dalam ponsel bicara dalam bahasa Inggris, aku hanya mengangguk-ngangguk dan sesekali berkata yes atau no. Setelah beberapa saat, sambungan telpon terputus, telpon dari intel elit Amerika.
“Aku kini mengerti, kenapa kalian masih di sini.”
Tiga intel senyap itu tersenyum menatapku. Rupanya mereka sudah mengamankan semua penghuni rumah, menculiknya, menyekapnya di tempat rahasia.
“Intel Amerika itu cerdas juga, dia bisa mengetahui kedatangan kami di rumah ini, tapi terlambat. Sudahlah, ikut saja bersama kami Jendral.” Lelaki di atas sofa menunjuk ke arah ponselku. Ia tahu kalau yang tadi menelpon adalah intel elit Amerika.
“Mereka tidak terlambat, kalianlah yang bergerak lebih cepat.” ucapku.
“Keluarga Jendral sudah berada di tempat yang aman, jangan dipikirkan. Tenang saja.” Ucap intel di mulut pintu, tangannya mempersilakanku untuk keluar dari ruang baca.
“Baiklah…” Jawabku, tenang.
Aku berjalan di celah peristiwa yang tidak pernah akalku bisa menerka, seisi rumah terlihat sepi, dari pintu-pintu kamarnya yang terbuka aku bisa melihat, sudah tidak ada siapa-siapa di dalamnya.
“Ada jendral di atas jendral…” Aku bergumam.
Akalku berputar mencari kebohongan yang tak kudengar.
Bandung, 20 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H