Sungguh kalau memang puasa itu sekedar menahan lapar dan dahaga, maka orang-orang miskin, melarat di daerah-daerah paceklik, tentu lebih berhak mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya.
Tapi puasa kita lebih dari itu. Bukan hanya tak makan, tidak sekedar menahan haus. Tapi puasa kita harus berpijak pada keimanan yang kokoh. Bahwa ini adalah perintah Allah, Tuhan yang kita sembah.
Tuhan yang kita yakini sebagai Satu-satunya pencipta semesta. Sebagai Dzat Tunggal yang mengatur kehidupan. Tuhan yang kelak akan memisahkan nyawa dari raga kita. Kemudian menghidupkan kita kembali dan menetapkan, apakah kita akan bahagia di surga ataukah harus sengsara di neraka.
Maka, yang diseru adalah orang-orang yang  beriman. Bukan yang lain. Kemudian Allah memberi tahu, bahwa perintah puasa ini pun ditetapkan pada orang-orang dulu. Bukan ajarab baru. Dengan tujuan untuk menjadikan pelakunya bertakwa.
Takwa secara sederhana, memenuhi semua perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Jadi, orang yang bertakwa itu sentiasa takut untuk melanggar segala titah Tuhannya.
Namun, manusia tetaplah manusia. Jalan hati-hati bukan berarti tidak bisa tersandung. Bukan berarti tidak tersenggol. Bahkan mungkin terperosok. Maka, kemudian melalui di bulan Ramadhan ini, sesiapa yang berpuasa karena keimanan yang benar, semua dosa yang telah lampau, Allah berkenan untuk mengampuninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H