Mohon tunggu...
Abrari Liwansyah
Abrari Liwansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya manusia buangan

Hanya tumpukan artikel dan puisi yang mengibaratkan jerry si tikus.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Era Baru

15 Desember 2021   15:11 Diperbarui: 15 Desember 2021   15:31 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sudah lama sekali aku tidak menulis di kompasiana ini, dan mulai mau menulis apalagi. Aku berfikir kalau menulis puisi tidak bisa memecahkan masalah sekalipun. Sekarang aku menulis puisi untuk diriku sendiri yang terpampang di dinding-dinding kamarku dihiasi dengan penuh coretan menggunakan cat maupun pylox. Di dalam kamarku terdapat sebuah meja dan komputer yang menemani setiap hari-hariku untuk melanjutkan buku yang aku tulis. Sekitar 6 bulan yang lalu, literatur itu sudah selesai, tinggal proses cetak. Dan kebetulan, si penerbit itu tidak memberikan balasan email kepadaku. Itu artinya aku masih belum bisa menulis buku. Kuputuskan aku tidak menulis lagi. Dan saat ini mungkin waktu yang tepat untuk meceritakan semuanya. Aku yakin bahwa takdir bisa dilawan, bukan malah kepsarahan.

 
Pertama, aku akan menceritakan tentang isi buku yang aku tulis. Aku mengambil tema tentang pendidikan di sekolah menengah atas. Kebetulan aku memulainya pada saat SMA kelas 3. Di dalam buku tersebut menceritakan tentang seluk beluk pengajar, tentang kurikulum, tentang karakteristik siswa yang pernah aku temui semasa SMA, dan pendidikan non formal di setiap daerah, baik itu masyarakat adat atau tidak. Ada banyak sekali siswa yang aku wawancarai untuk mengisi setiap paragraf pada buku tersebut. Judul dari buku itu adalah "Mulut pelajar".


Yang kedua, mengapa buku itu tidak dicetak oleh penerbit?. Aku menyadari bahwa pemilihan kata dari setiap paragraf sangat jelek dan frontal. Terlebih buku itu, ada sebuah paragraf yang menceritakan tentang siswa yang membenci gurunya karena materi yang diajarkan, sangat sedikit sekali, seolah tidak niat menjadi pengajar yang tulus. Kita semua menyadari bahwa guru itu notabene nya adalah seorang manusia yang membagikan ilmu dan pikirannya secara tulus, namun tidak. Dan dia bilang bahwa pengajar tidak bisa mengatasi kegiatan belajar mengajar pada saat covid-19 melanda. Dengan adanya covid-19, sangat sekali melakukan KBM secara tatap muka. Lalu aku ada inisiatif membuat petisi untuk melakukan KBM menggunakan zoom. Ternyata itu tidak semulus yang kita harapkan. Padahal petisi itu sudah hampir 60% siswa menyetujuinya. Tapi apa?, disaat aku mengirimkan hasil petisi via whatsapp, guru itu malah cuma membaca doang, dan nggak ada respon sekalipun. Mungkin itu adalah bentuk kecil organisir awal dari kita.
Kemudian aku putus asa, dan tidak ada harapan lagi untuk mengandalkan para pengajar.

Sekian narasi pendek dariku, kuucapkan terimakasih

Part 2 soon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun