Ruangan yang tampak kusam ditemani rak buku lama tersusun, bak kotak layanan pengaduan tersisip debu di sela-sela buku tertata rapi. teman asyik mengobrol soal persepsi, tanpa mengubris hal lain hingga tiba alunan adzan mendayu dari balik telinga para pendengarnya. Membahas soal adzan, ia bisa di bilang seni bagi para seniman, juga bisa menjadi pengingat bagi yang lupa, lupa arah jalan pulang. Tapi satu hal pasti bagi penganutnya, tempat ibadah adalah sebuah tempat para umat yang datang memenuhi panggilan ilahi bagi yang rindu tuhan nya dan pergi meninggalkan jejak dosa.
Umar yang sedari tadi memejamkan mata lekas terbangun dari kursi dan memberi instruksi kepada sahabatnya.
"Sahabatku, ayo kita dialog?"
"Dialog, soal apa?, temanku bertanya tanpa tahu apa maksudku.
"Dialog kepada tuhan, tak dengarkah kalian alunan merdu ini"
"Baiklah, mari beranjak"
Bersiap pergi, terdengar suara dari sudut ruangan, wanita bercadar membantah maksud dari kata umar.
"Umar, apa maksud kamu menganalogikan sholat dengan dialog"
"Apakah harus mempermainkan agama dengan hal semacam itu" Nada marah terdengar dari suaranya. Bahkan seketika sahabatku terdiam tanpa kata, ia berusaha untuk mendengar dialog umar dengan wanita bercadar, dan melupakan tujuan awal. Umar sedari tadi ingin bersiap pergi menghentikan sejenak langkahnya dan memberikan pendapat.
"Apakah aku salah berkata?" Karena takut teman salah menafsirkan maksud umar, ia mencoba memberikan alasannya.