Hujan pagi itu yang semula rintik-rintik kian lama kian deras bagaikan dicurahkan dari langit yang berselimut awan gelap. Menambah dinginnya udara Kota Bandung. Aku bergegas berlari mencari tempat berteduh.Â
Tak lama muncul seorang gadis kecil yang juga mencari tempat berteduh. Tubuhnya sudah mulai kuyup terguyur air hujan. Tangan kecil kurusnya berusaha menutupi baskom berisi pisang goreng jualannya.
Beberapa saat lalu ketika hujan rintik-rintik sayup-sayup masih kudengar suara kecil melengking menjajakan dagangannya. Sekilas terpikir olehku untuk memanggilnya. Terbayang dalam udara dingin dikantor nanti dihadapanku terhidang sepiring pisang goreng dan secangkir kopi panas. Hampir terbit air liurku membayangkannya.
Sekarang si gadis kecil penjaja pisang goreng itu berdiri berjajar di sebelahku. Tampak tubuhnya yang kurus sedikit menggigil kedinginan. Kami berdua berteduh di bawah atap rumah di tepi jalan itu. Kepala dan rambutnya basah. Aku merasa iba segera kukeluarkan sapu tangan dan memberikan kepada gadis kecil itu. "Dik keringkan rambutmu dulu dengan ini" ujarku sambil menyodorkan sapu tangan kepadanya. Kepalanya menengadah menengokku dengan tatapan ragu. Dengan perlahan ia meraih sapu tangan dari tanganku lalu mengusap rambut dikepalanya yang basah. " Siapa namanu dik?"  tanyaku membuka percakapan lebih lanjut. "Lembayung om" jawabnya perlahan sedikit lirih. Wah... indah juga namanya. Lembayung berarti merah tua atau purple  dalam bahasa Inggrisnya. "Umurmu berapa?" lanjutku semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Tak lama kami berdua terlibat dalam obrolan yang cukup akrab. Ia menjawab umurnya enam tahun dan duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar.Â
Hatiku semakin terasa tersayat ketika mendengar alasan mengapa ia harus berhenti sekolah dan harus berjualan pisang goreng untuk membantu ibunya. Ayahnya hanya seorang buruh yang kerjanya serabutan. Tak punya pekerjaan tetap. Kini terbaring sakit. Mereka harus berjuang untuk melanjutkan hidup. Ibunya membuat pisang goreng dan lembayunglah yang harus mejajakannya. Hasilnya hanya sekedar untuk menangkal rasa lapar dan  berharap agar dapat menyambung hidup di esok hari dan hari-hari selanjutnya.
Lembayung kehilangan haknya sebagai anak-anak. Ketika anak sebayanya dapat mengecap pendidikan dengan baik dan menikmati dunia kanak-kanak dengan bebas bermain menghabiskan waktu bersama teman-teman mereka, Lembayung harus berjuang diterpa teriknya mata hari dan hujan untuk menafkahi keluarganya.
Lembayung ternyata anak yang ramah. Nampaknya ia juga anak yang cerdas. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mungilnya ketika ia bercerita cukup jelas dan teratur. Wajahnya berseri dengan sorot mata ceria. Sesekali terselip senyum manis di sudut bibirnya. Tak terlihat sedikit pun rona sedih karena beban pekerjaan dalam kehidupan yang harus ditanggungnya.
Perasaanku semakin gundah, mataku terasa panas. Kutahan sekuat tenaga agar air mataku tidak menetes, Â ketika mendengar cerita Lembayung. Betapa tidak aku sebagai seseorang yang bekerja di satu lembaga internasional untuk memperjuangkan hak anak-anak terbayang tidak dapat berbuat banyak. Berapa banyak anak negeri ini yang mengalami nasib seperti Lembayung?
Ini semua bisa jadi akibat situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.
Hujan mulai reda, langit pun berangsur cerah. Kuselipkan beberapa lembar uang kertas di tangannya. "Kalau dagangannya tidak habis Lembayung pulang saja ya..hati-hati jaga uangnya jangan sampai hilang ya nak...." pesanku lirih sambil kubelai rambutnya. Ia hanya mengangguk perlahan. Aku melangkah lunglai menuju tempat kerjaku sambil berdoa "Tuhan...tolong ....Lembayung......" Cuma itu kata yang dapat kusampaikan kepada Sang Khalik empunya hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H