Mohon tunggu...
abraham raubun
abraham raubun Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli gizi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Olah raga, kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harga Sebuah Sepeda

14 Maret 2023   12:17 Diperbarui: 14 Maret 2023   12:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HARGA SEBUAH SEPEDA

"Huuh...mau apa lagi orang ini.." gerutuku dalam hati. Tahu sendiri ketika sedang duduk santai di teras rumah, tiba-tiba muncul orang tak dikenal. Was-was juga perasaan ini. Pikian negative mulai menyusupi benak ini. Maklum zaman sekarang, terpaan media begitu deras tentang ragam penipuan dan kejahatan. Patut diakui itu melekat juga di benak ini. Rasa curiga yang berlebihan memang tidak baik. Tetapi sikap waspada sudah jadi keharusan demi keselamatan. "Selamat siang pak..." suara itu terdengar sopan namun ada nada lirih menyimpan kesedihan. Ketika kutanya ada keperlun apa, ia mau menjual sepeda yang dituntunannya. Kulihat sepeda tua dengan warna sudah kusam. Hatiku tercekat bukan karena soal sepeda yang mau dijualnya, tetapi ujung ceritanya. Cerita yang langsung menohok ulu hati dan timbulnya rasa sesak di dada.

Ia perlu ongkos seratus ribu rupiah buat menghantar ayahnya berobat ke Puskesmas. 

"Sudah tiga hari ayah saya demam dan sesak napas pak, saya tidak punya uang untuk mengantarnya ke Puskesmas" tuturnya memelas. 

Kenangan pahit masa silam sontak terlintas di benak ini. Terbayang kembali melihat ayah yang sepanjang malam terduduk di kursi. Napasnya tersengal-sengal karena penyakit asmanya kumat. Penyakit yang konon mulai dirasakan ketika ayah menjadi tawanan tantara Jepang dan dibuang ke kepulauan Aru di wilayah Timur Indonesia. 

Malam hari para tawanan dikerahkan untuk membongkar muatan dari kapal Angkatan laut Jepang yang membawa perbekalan militer dan para tawanan harus bekerja sepanjang malam. Akhirnya tak sedikit tawanan yang terserang bronchitis. Mereka harus bertahan hidup tanpa obat, hanya mengandalkan tumbuhan di hutan sebagai obat herbal. Keluarga kami saat itu pun tak ada uang yang memadai untuk membawa ayah berobat berobat. 

Doa yang kupanjatkan saat itu seakan sudah tak berujung lagi, hanya bisikan lirih. Tak sampai hati mendengar keluhan pemuda ini, aku masuk ke dalam rumah dan kembali dengan selembar uang seratus ribu di tangan. Kusodorkan uang itu, dengan iringan doa semoga ayahnya cepat sembuh dan kuminta dia membawa sepedanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun