Saat rehat kopi dalam suatu acara pelatihan bagi aparatur desa di Kabupaten Polewali Mandar ada suguhan unik. Dibungkus daun pisang kering, ketika dibuka isinya wajik. Tentu saja camilan manis legit ini jadi sasaran utama untuk menemani minum teh atau kopi di waktu istirahat itu.
Wajik bukan makanan asing bagi masyarakat. Di Mandar Polewali Sulawesi Barat, Olahan bahan dasarnya ketan, gula merah, kelapa muda parut dan kacang tanah ini namanya Golla Kambu. Dalam bahasa Makassar Golla berarti gula, Kambu artinya kelapa.
Berbeda dengan wajik pada umumnya, golla kambu Golla Kambu boleh dikatakan wajik plus, karena ditambah campuran kacang tanah. Menilik bahan dasar olahannya makanan cemilan ini merupakan sumber energi yang diperoleh dari beras ketan, gula merah, kelapa dan kacang tanah. Cara pembuatannya pun tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan wajik pada umumnya. Rasanya tentu manis legit, bahkan kini ada yang ditambah dengan rasa duren.
Wajik sendiri menurut catatan berasal dari Jawa Tengah, namun ditemukan juga di beberapa daerah lain. Di daerah Sulawesi Utara misalnya diberi daun pandan dan daun jeruk membuat aroma dan rasa yang khas. Di Jawa Barat wajit Cililin cukup dikenal masyarakat.
Wajik yang tidak dibungkus penampilannya bisa berwarna-warni, ada yang menggunakan daun Suji untuk memberi warna hijau atau menggunakan pewarna makanan memberikan warna merah. Â
Wajik yang berwarna hijau dan merah muda tidak menggunakan gula merah melainkan menggunakan  gula pasir. Seperti Golla Kambu dibungkus daun pisang kering (klaras).Â
Dari Ciamis Jawa Barat ada yang dibungkus pelepah pinang. Dari Blitar yang disebut wajik kletik dibungkus daun jagung atau klobot, sedangkan yang dijual di toko oleh-oleh dibungkus kertas.
Nama wajik diberikan karena pada umumnya berbentuk jajaran genjang atau belah ketupat. Bentuk seperti ini oleh orang-orang Jawa disebut wajik. Itulah kekayaan dunia kuliner tradisional Nusantara.
Banyak ragam makanan sama rupa dan rasa tapi nama bisa saja berbeda juga cara pengemasannya sesuai adat istiadat dan budaya serta kebiasaan masyarakat setempat. Apapun itu tetap saja jadi warisan para leluhur untuk tetap dilestarikan agar anak cucu dapat mengenalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H