Sejak September hingga akhir Oktober berbagai instansi pemerintah membuka lowongan pekerjaan bagi para generasi muda bangsa untuk menjadi calon pegawain negeri sipil (CPNS). Salah satu persyaratan untuk melamar adalah memiliki surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Ternyata betapa sulit memperoleh SKCK bagi generasi muda yang umumnya belum bekerja, artinya sebagian besar mereka belum memperoleh penghasilan, namun ketika mengurus seperti SKCK sudah harus membayar puluhan ribu rupiah. Di Jakarta Selatan khususnya, kesulitan yang nyata-nyata menyiksa generasi muda pencari kerja untuk memperoleh selembar kertas yang bernama SKCK terletak pada buruknya pelayanan instansi Polri sebab kurangnya tenaga, fasilitas dan tarif yang "liar", di mana tarif ditentukan semaunya, atau tarif yang ditentukan nampak tidak logis.
Sehingga apa boleh buat kita harus memberi angka"merah" kepada Polri. Sebab Polri belum mampu memberikan pelayanan yang baik, apalagi pelayanan prima kepada rakyat, terutama generasi muda calon CPNS. Dengan layanan yang buruk, SDM minim, fasilitas minim, maka sesungguhnya masih terlalu jauh bagi Polres untuk mencapai yang namanya pelayanan prima, melalui pelayanan memperoleh SKCK.
Sebagai lembaga publik, Instansi Polri harusnya melayani publik dengan memberikan tingkat kepuasan yang tinggi, dan bukan sebaliknya publik menimpali dengan berbagai keluhan sampai umpatan pertanda ketidakpuasan akibat kurang memperhatikan/mengabaikan kebutuhan publik sebagai pelanggan.
Jelas sekali, Polri masih suka menggunakan paradigma lama ketika melayani publik untuk urusan SKCK. Praktik yang buruk bisa disebut di sini misalnya, tidak adanya pendelegasian wewenang Polres kepada Polsek dalam urusan SKCK untuk calon CPNS. Apa alasan kebijakan yang birokratif ini? Tokh seluruh prosedur memperoleh SKCK di Polsek dan Polres menggunakan standar yang sama persis. Beda SKCK keluaran Polsek dan Polres hanya terletak pada kop surat, dan mungkin pangkat yang mendatangani SKCK tersebut.
Buruknya sentralisasi SKCK yang dirasakan calon CPNS di Polres antara lain ribuan generasi muda harus berdesakan dan tumplek-lek dalam satu ruangan yang amat sempit, gelap, panas, ketika mengawali hingga mengakhiri proses peroleh SKCK. Semua ini tentu saja akibat dari mindset buruk pejabat Polri. Memutuskan sentralisasi di Polres untuk urusan SKCK apa alasannya?
Semoga bukan berdasar alasan sederhana, misalnya saja terkait fulus, aparat di Polres ingin mencari uang sebanyak-banyak! Makanya, sebaiknya Polri transparan memberitahukan ke publik alasan yang lebih substansif agar publik jangan sampai menafsir keputusan ini hanya simpel dilihat hanya dari sisi "ujung-ujung duit"? Sentralisasi urusan seperti pengurusan SKCK dengan praktik yang buruk mencitrakan Polri tidak berhasil mereformasi diri dalam pelayanan publik. Terbukti Polri merasa atau tidak merasa, namun jelas sekali praktik masih menyusahkan, belum memberi kepuasan kepada rakyat sebagai pelanggan. Maaf kalau saya menilai seperti itu.
Lalu kapan hasilnya yang terbaik bisa diwujudkan? Nampaknya masih lama menunggu pelanggan Indonesia jika ingin berurusan dengan instansi Polri. Sepertinya Polri tetap suka melestarikan model layanan, "kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?" Kalau bisa membayar, mengapa harus digratiskan? Sepertinya Polri tetap suka dengan praktik memanen dari masyarakat untuk urusan yang sedikit kolosal. Tokh praktik nyata soal SKCK dengan pelanggan puluhan ribu adalah "kolosal", nampak demikian menggiurkan. Polri boleh saja menyangkal, berargumentasi tidak begitu, tetapi ribuan generasi muda mengalami hal yang buruk?
Tentang tarif misalnya sungguh orang bertanya. Mengapa hanya selembar SKCK harus membayar belasan ribu? Mengesahkan lima lembar copi SKCK dengan bayaran Rp 20.000. Jika semua itu tarif resmi, oke saja. Persoalannya apakah penetapan besarnya tarif berdasar peraturan resmi atau pertimbangan situasional, hanya sewaktu-waktu, sehingga lebih tepat sebagai jenis "pungli" baru yang dilakukan resmi atau terang-terangan?
Jika tidak dijelaskan kepada publik maka berbagai kekurangan yang dialamai publik khususnya generasi muda yang merasakan akibat dari kebijakan sentralistik pelayanan di Polres terus terbawa bagaikan sebuah tanda tanya, bahkan barangkali akan tetap sebagai misteri, setidaknya bagi pelanggan yang calon CPNS.
Polri harus menjelaskan dengan alasan substansif atas kebijakan ini. Jika kebijakan tersebut digulirkan hanya berlandaskan besarnya arus pemasukan uang, maka seharusnya pengeluaran SKCK untuk calon CPNS dihentikan, ditinjau kembali untuk segera, dan Kapolres harus segera mendelegasikan kewenangan membuat SKCK kepada semua Kapolsek dalam wilayah Polres bersangkutan.