Mohon tunggu...
Abraham FanggidaE
Abraham FanggidaE Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Abraham FanggidaE

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masih Adakah Harapan Kemanusiaan dari Arab Saudi?

21 November 2010   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi tanda tanya besar, mengapa TKW kita di Arab Saudi selalu mengalami siksaan sadis? Apakah TKW yang kurang beradat menurut adat budaya, nilai sosial keluarga/majikan tempat kerjanya? Atau, majikan tempat kerja TKW kita yang kurang ajar, sadis, tidak manusiawi, terbukti menyiksa demikian sadis yang menimbulkan luka fisik, bathin bahkan sampai meninggal dunia? Masih adakah harapan berwajah manusia dari pemerintah dan keluarga Arab Saudi terhadap TKW kita? Dari sisi pemerintah kita bertanya, bagaimana upaya nyata dalam upaya pencegahan berbagai siksaan, koq semakin bertambah banyak korban berjatuhan? Nampaknya pemerintah belum membuahkan hasil dalam pencegahan. Kalau pemerintah berhasil untuk mencegah, tidak mungkin nasib TKW kita terus menjadi keprihatinan dan berita hangat bagi bangsa dan negara ini, teranyar berita siksaan terhadap gadis Sumiyati, TKW yang mengalami siksaan namun tidak meninggal, walaupun demikian Sumiyati terbebani luka fisik dan batin yang amat sangat akibat tindakan majikannya, seorang janda yang bertindak sadis dalam rumahnya sendiri di Arab Saudi. Ketika hangahangat kasus Sumiyati, datang lagi berita duka, Kikim Komalasari, juga seorang TKI tewas di Arab Saudi. Tragis sekali nasib TKI yang mencari penghidupan di Arab Saudi, jelas kita menuntut kepada pejabat negara mulai dari presiden, Menteri Negara Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2 TKI, DPR RI agar mengambil keputusan yang cepat, tegas, dan tepat untuk membela, dan terutama adalah juga bermanfaat bagi rakyat kita yang mencari uang di Arab Saudi. Saya merasa heran dengan pernyataan Presiden SBY "terdapat semacam ketertutupan di Arab Saudi sehingga TKI yang bermasalah di negara tersebut tidak mudah diketahui nasibnya oleh pemerintah. Selama ini seringnya terlambat kita mengetahui kalau saudara-saudara kita mengalami masalah serius, apalagi di Saudi Arabia dilaporkan para menteri memang ada semacam ketertutupan tidak mudah mendapatkan informasi segera yang cepat,'' ujarnya. Presiden SBY mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang ternyata tidak mudah dilakukan kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI. Pemerintah, lanjut kepala negara, menginginkan suatu keterbukaan serta kerjasama yang baik antara negara penerima TKI serta kontrak yang transparan antara pekerja dan penerima TKI di negara tersebut. Pemerintah Indonesia ingin suatu 'fairness", kerjasama, sikap yang kooperatif, karena sebetulnya tenaga kerja kita itu bekerja untuk ekonomi mereka. Ada 'take and give', 'supply and demand','' kata Presiden SBY. Untuk itu harus ada kesepakatan antara pemerintah pada tingkat bilateral dan kontrak seperti yang sudah kita lakukan dengan Malaysia. Presiden SBY mengatakan, pemerintah akan meninjau kembali kerjasama dengan negara-negara penerima TKI meski sebagian besar telah memiliki nota kepehamanan untuk keamanan dan perlindungan TKI. Apabila terdapat negara yang tidak memberikan transparansi dan tidak mau membuat nota kepahamanan, lanjut Presiden SBY, pemerintah akan melakukan langkah diplomasi maksimal dan apabila upaya tersebut gagal, maka pemerintah akan berbicara dengan TKI yang berada di negara tesebut. Karena pemerintah ingin melindungi mereka meski bekerja itu pilihan, tetapi negara, pemerintah, ingin melindungi mereka. Terhadap satu, dua negara, yang masih belum memiliki instrumen, belum menunjukkan 'fairness', keterbukaan, akan kita pastikan bisa dilakukan begitu,' jelas Presiden SBY. Apa yang dikatakan Presiden SBY seluruhnya nampak bagus dipidatokan, tetapi kelemahannya pada tataran implementasi. Pemerintah sepertinya banyak memberi komentar ketika masalah yang besar dan menyayat hati tiba-tiba menimpa TKI kita, dannampak segera melupakan ketika sayup-sayup berita kasus mulai menghilang. Pemerintah suka bicara untuk sekedar omong, bukan tindakan nyata menolong atau memberikan efek jera bagi pemerintah dan keluarga di Arab Saudi.

Simak pula yang dikatakan Menteri Negara Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, secara pribadi, dirinya ingin menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri, dapatkah idée ini ditindaklanjuti. Pendapat Muhaimin diutarakannya pada wartawan, saat berada di kediaman Kikim Komalasari,TKI yang tewas di Arabi Saudi, di Kampung Cipeyem RT 3 RW 1, Desa Mekarwangi, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Sabtu (20/11). Muhaimin mengatakan hal tersebut dengan keraguan yang besar, sebagai responnya atas suara masyarakat atas kasus Sumiyati. "Kita bisa memahami tuntutan itu" ujarnya, dan secara hati, saya juga inginkan menghentikan pengiriman itu. imbuhnya. Pertanyaannya, apakah idée Muhaimin diteruskan? Ternyata seorang Menteri yang membidangi tenaga kerja, penuh keraguan, tidak serius memfollow-up apa yang dipikirkan. Kalau tidak serius, mengapa statemennya dilepas kepada wartawan? Tampak ambivalensinya pemerintah kita, ketika Muhaimin mengatakan, namun bila dipikirkan secara rasional, penghentian pengiriman TKI ke Saudi Arabia tersebut tak bisa dilakukan. Alasannya, merupakan hak asasi manusia untuk keluar negeri atau tidak, kita tak bisa melarang,ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.

Pemerintah sudah harus serius menjaga agar TKI di luar negeri terlindungi, sehat, sejahtera, dan selamat. Karena sudah ribuan kasus membahayakan dialami TKI. Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayat, melihat kejadian yang menimpa Sumiyati di Arab Saudi merupakan puncak dari gunung es kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kasus itu terjadi karena dampak dari sistem kebijakan Indonesia yang lemah soal TKI.
Instrumen hukum yang kita miliki terbukti tidak bisa melindungi TKI. Menurut dia perangkat Undang Undang (UU) tentang TKI tidak bisa mencegah ataupun mengatasi persoalan yang terjadi. Lantaran itu, persoalan yang sama, yaitu kekerasan dan penganiayaan, terus berulang. Selama ini, dari tahun ke tahun, terlihat adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap TKI. Data dari Migrant Care, hingga Oktober 2010, sudah terjadi 5.336 kasus kekerasan. Jumlah ini sejalan dengan target penempatan TKI yang terus ditingkatkan oleh pemerintah. Fakta ini harus diimbangi dengan proteksi terhadap TKI, terutama dari sisi regulasi yang berpihak.
Oleh karena itu perlu diubah UU-nya, kata Anis. Migrant Care menilai pemerintah Indonesia perlu segera merevisi UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Sekitara 80 persen dari peraturan perundangan itu harus dirubah. Terutama dalam hal pemberian hak bagi buruh migran, karena instrumen UU dibuat untuk melindungi para pekerja Indonesia di luar negeri. UU juga seharusnya mampu memprediksi kerentanan yang bakal terjadi pada buruh migran terutama pada sektor pembantu rumah tangga.
Poin lain yang harus menjadi perhatian pemerintah saat melakukan revisi adalah tentang peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saran Migran Care perlu diperhatikan seperti usulannya agar peran PJTKI harus dirombak Saat ini UU yang ada telah memberikan peran hulu sampai hilir pada PJKTI. Mulai dari rekrutmen, pengurusan dokumen, penempatan, hingga pemulangan. Pemerintah seharusnya ikut ambil bagian dalam peran-peran tersebut.
Peran PJTKI didorong hanya pada administrasi saja. Peran strategis dipegang oleh pemerintah, karena misi PJTKI adalah mencari keuntungan, padahal TKI perlu diberikan perlindungan, tidak hanya dieksploitasi. Sisi lain dari UU yang harus dibenahi adalah dalam pengaturan sanksi. Selama ini yang menjadi titik beratnya adalah sanksi administrasi. Harus memperketat sanksi pidana. Setiap pelanggaran yang merugikan TKI harus sanksi pidana.

Walaupun TKW diberi telepon genggam, tetapi HP mereka tidak mungkin mencegah napsu busuk dan sadis personal di Arab Saudi. Saya terpingkal-pingkal ketawa ketika mengetahui jalan pikiran yang naïf terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri akan dibekali telepon genggam oleh pemerintah agar mereka dapat cepat melapor apabila sesuatu tidak dikehendaki terjadi pada diri mereka. Tidak tanggung-tanggung yang menyarankan adalah Presiden SBY.
Usulan tersebut dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai rapat kabinet terbatas membahas pelindungan TKI di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/11).
Sedang dirumuskan memberi HP pada orang per orang tenaga kerja kita, harus disampaikan kepada siapa konsulat jenderal kita, juga di dalam negeri, setiap saat, 'real time', nomor telepon yang bisa dihubungi untuk dia komunikasi secara instan kemudian sistem bekerja. Ini sedang kita rumuskan, dilaksanakan di waktu yang akan datang," jelas Presiden SBY.
Presiden SBY mengakui selama ini pemerintah tergolong lambat mengetahui informasi TKI yang mengalami kekerasaan atau pun masalah lain seperti gaji yang tidak dibayarkan.
Apalagi, menurut Presiden SBY, memang terdapat semacam ketertutupan di Arab Saudi sehingga TKI yang bermasalah di negara tersebut tidak mudah diketahui nasibnya oleh pemerintah. "Selama ini seringnya terlambat kita mengetahui kalau saudara-saudara kita mengalami masalah serius, apalagi di Saudi Arabia dilaporkan para menteri memang ada semacam ketertutupan tidak mudah mendapatkan informasi segera yang cepat,'' ujarnya.
Untuk itu, Presiden SBY mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang ternyata tidak mudah dilakukan kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI.

Mimpi saya, suatu ketika koruptor dalam birokrasi kita sadar, akibat tindakan sadis mereka mengorupsi uang rakyat yang berada dalam genggaman kepercayaan mereka sebagai birokrat dikorupsi maka kegiatan di dalam negeri tidak bisa berkembang dengan baik, apalagi maju, lapangan pekerjaan menjadi suatu "kemewahan", gaji pekerja dibayarkan amat murah, maka pekerja kita mencari makan di luar negeri, dengan resiko yang mereka peroleh seperti yang dialami ribuan TKI kita yang disiksa, menderita sakit dan trauma psikis dan fisik, bahkan meninggal dunia. Melalui tulisan ini, saya serukan kepada mereka para koruptor: berhentik makan uang negara yang adalah uang rakyat, jika tidak akan datang waktu yang tepat Anda dan keluarga pasti akan mengalami siksaan fisik dan psikis, bahkan mengalami amputasi jiwa dan raga.

Negara kaya raya Indonesia, seharusnya kita menerima "babu" dari negara lain, bukan mengirim babu mencari makan, dengan menanggung resiko, bahkan jiwa melayang.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun