Mohon tunggu...
Abraham FanggidaE
Abraham FanggidaE Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Abraham FanggidaE

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MOS Miskin Orientasi Pendidikan

5 Agustus 2015   15:27 Diperbarui: 5 Agustus 2015   15:27 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bukan produk MOS (Masa Orientasi Siswa) ketika menjadi siswa SMP (masuk tahun 1962), SMA (masuk tahun 1965). Pilihan pada SMP dan SMA yaitu itu pilihan pribadi, tanpa mengenal seluk beluk sekolah bersangkutan. Tujuannya hanya belajar, dapat ilmu, dapat kawan baru, dapat status lebih baik, dan lulus.

Untuk mendapat semua itu, usaha sendiri, dan bantuan/bimbingan guru. Tak ada senior yang membantu. Apalagi tak ada alumni yang membantu. No way. Benar-benar kreatif sendiri, dan ikuti apa yang guru wajibkan. Hasil apa dari kondisi itu? Pertama, saya mandiri, kreatif. Kedua, saya menurut, taat, kreatif kepada guru-guru. Ketiga, selama menjadi siswa, senang, pintar,bahagia, sehat. Tak ada trauma psikis apapun.Tak ada tekanan apapu dari senior (kakak kelas). Saya tidak mengenal pribadi si alumni. Alumni bisa datang berceramah di kelas, ketika mereka sudah jadi taruna Akabri, mahasiswa kedokteran. Mereka motivator.

Lha, kenapa anak-anak dan cucu-cucu saya untuk menjadi siswa baru harus melalui MOS? Padahal, evaluasi pribadi saya mereka "lebih" karena memiliki kedua orang tua pintar, dia sendiri pun pintar, memiliki fasilitas buat maju, punya banyak kawan, dll ketimbang saya yang adalah bapa dan opa mereka. Dengan kondisi itu, jika anak ini sudah punya pilihan bersiswa pada sekolah tertentu, dia mampu "menawan" sekolah beserta civitas sekolah, juga ilmu sebaik mungkin. Anak sekarang bisa lebih prestatif dalam penguasaan ilmu, kita harus akui itu.

Jadi untuk apa MOS? Apalagi MOS yang tidak punya "orientasi" menambah prestasi buat siswa? MOS kehilangan orientasi, ya iya. Memang begitu. Acara pembukaan dengan menerbangkan balon gas. Siswa didandani "aneh-aneh" yang tidak lucu. Siswa laki-laki digebuk, dipaksa sit-up/push-up. Ada praktik adegan kekerasan, bahkan adegan melanggar kesusilaan dengan korban siswi. Wajib beracara dan inap di alam terbuka, berkemah di hutan dan pegunungan sepi, menyeramkan. MOS menimbulkan trauma psikologis, berdampak siswa terluka, cacat, hingga meninggal dunia.

Bila sudah tahu MOS ajang balas dendam senior kepada adik kelas, mengapa tiap tahun berlanjut? Tiap tahun MOS menguras uang orang tua siswa, mengapa hal yang membebani ini terus menjadi beban para orang tua, khususnya orang tua murid miskin/rentan ekonomi? Bila MOS. Bila MOS mempraktikan perilaku amoral, maukah MOS menjadi ajang pendidikan amoral yang berkelanjutan bagi anak/remaja usia aqil-balik?

Sejak beberapa tahun MOS nir orientasi pendidikan, telah berdampak, merusak mental, pelecehan seksual, menabur bibit amoral, berbahaya, bahkan pembunuhan murid, maka MOS tak hanya mengkuatirkan, tapi sudah merusak moral murid, sehingga MOS menakutkan para murid dan orang tua. Semoga para guru sependapat dengan saya tentang ekses MOS. Atau, guru tidak sependapat, alasannya, toh dia juga produk MOS. Waooo bila guru mengidolakan MOS, jika guru tidak menghendaki MOS dihapus mari ikut diskusi agar publik mengetahui latar belakang mengapa guru menyetujui MOS. Publik tahu, anggaran MOS tersedia untuk honorarium guru yang terlibat kegiatan MOS. Semoga bukan sebab alasan menambah penghasilan bagi guru dan panitia pada setiap tahun ajaran baru, maka MOS harus ada, sehingga yang ada hanya evaluasi kekurangan dan kelemahan MOS agar makin sempurna pelaksaan tahun mendatang. Semoga bukan alasan uang, MOS berlanjut, begitu "miskin" mindset seperti itu.

MOS sebagai momok bagi murid dan orang tua muri menarik perhatian sahabat saya di Swiss. Dia menulis email singkat untuk saya demikian: bung, di Swiss tidak ada MOS. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Muangthai, orientasi bagi siswa/mahasiswa baru diisi dengan acara yang mendidik. Siswa dipersilahkan memilih kursus bahasa asing, bermain games on line, meninjau obyek penting atau yang bersejarah yang terdapat dalam lingkungan sekolah/kampus, bahkan secara bersama ikut pesta untuk makan besar di rumah guru.Tetapi banyak sekolah saat sekarang tidak melakukan MOS, seperti pengalaman saya menjadi siswa SMP dan SMA tahun 1960an.

Semoga tahun ajaran baru pada tahun 2015 adalah tahun terakhir MOS. keputusan dan tanda tangan datang dari Mendikbud Anie Baswedan. Bila tahun 2016 dan seterusnya MOS ditiadakan, betapa bahagia disertai ucapan berlimpah terima kasih, dan rasa syukur dari jutaan murid dan orang tua kepada Anies Baswedan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun