Negara yang mengirimkan kesebelasannya bertarung dalam Piala Dunia bukan hanya Negara kaya raya seperti Amerika Serikat, Australia, Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, Jepang, Korsel, dan seterusnya. Ada juga Negara sedang berkembang, misalnya Ghana, Kamerun,Brasil, Argentina. Soal kaya miskin adalah soal di luar lapangan hijau. Hubungannya tentu saja ada, sih. Dengan uang banyak bisa membiayai olahragawan pesepakbola. Kurang uang, ya sulit juga membangun kesebelasan, bagaimana membayar gaji pemain, pelatih, biaya rutin operasional? Tetapi uang tidak segala-galanya. Banak faktor penentu.Mari belajar dari Uruguay, Paraguay, dan negara lainnya yang mungkin saja kurang uang untuk membangun kesebelasan hebat, tetapi bisa tampil di Piala Dunia. Pemain mereka menjadi miliader, organisasi sepak bola mereka mendapatkan kepercayaan dalam bentuk hubungan kerja yang menghasilkan uang secara konsisten.
Mengirimkan kesebelasan bertarung di lapangan hijau Piala Dunia, terkait dengan kondisi negara dan masyarakatnya di luar lapangan hijau. Soal di luar lapangan hijau memerlukan perbaikan serius, agar anak muda yang bermain bola termotivasi, agar negeri lain yang maju dalam sepak bola tertarik bekerjasama, agar FIFA, siapa tahu, simpati dan tertarik, percaya, lalu memutuskan memberi peluang Indonesia sebagai penyelenggara Piala Dunia, satu saat.... entah kapan?
Peserta Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan yang kondisi dalam negerinya kerapkali atau bahkan terus-menerus dihiasai persoalan di luar “lapangan hijau” juga dalam lapangan hijau sendiri, betapa sulit membangun kesebelasan kuat, juga menarik simpati pihak luar negeri. Pengalaman sudah banyak, juga banyak contoh bisa kita angkat dari luar lapangan hijau maupun dalam lapangan hijau. Baku hantam pemain, wasit tidak jujur, tidak punya kompetensi, makan sogok, suporter beringas, sekedar contoh dari dalam lapangan hijau. Mana bisa maju sepak bola kita jika contoh tidak bagus terus berlanjut, sulit diakhiri? Contoh dari luar lapangan hijau, antara lain kepemimpinan, organisasi, manajemen PSSI, korupsi dalam tubuh PSSI, korupsi dalam birokrasi negara, kondisi sosial, politik, ekonomi, keamanan dalam masyarakat, dan seterusnya.
Walaupun faktor di luar lapangan hijau sama sekali tidak berkaitan langsung dengan sepak bola, seperti nepotisme, narkoba, alkohol, masalah SARA, pertikaian fisik, kekerasan fisik, main hakim sendiri, terorisme, peledakan bom, perampasan kekayaan negara (korupsi) yang bersifat massif tetapi dampaknya bagi membangun kesebelasan tangguh pasti terpengaruh. Mengapa Mengapa tahun 2009 klub Inggris Manchester United yang sudah dijadwalkan main di Jakarta, akhirnya batal secara mendadak?
Dari segi jumlah penduduk, Australia misalnya, saat ini hanya mempunyai penduduk sekitar 20 jutaan jiwa. Bandingkan dengan Indonesia dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa, ini data resmi yang dikeluarkanBadan Pusat Statistik (BPS) ketika mengumumkan hasil sensus penduduk 2010 sekitar dua minggu lalu. Tetapi sebagai negara semata wayang yang kebetulan berada dalam satu benua, dengan jumlah penduduk yang kecil, kurang lebih 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dari luar lapangan hijau pun tidak pernah kita mengetahui terjadinya berbagai kerusuhan, kekerasan, main hakim sendiri antarpenduduk. Singkat kata, di Australia aman-aman saja. Tidak ada yang menganggu stabilitas “negeri kanguru” sebagai negara tetangga terdekat dengan Indonesia.
Dari luar lapangan hijau negara Jepang, Korea Selatan, Korea Utara sebagai sesama bangsa Asia pun jika dilihat dari sisi keamanan, kinerja birokrasi, negeri-negeri yang bangsanya berkulit kuning ini, aman-aman saja, birokrasinya sehat. Mereka secara ekonomi adalah negara makmur, kaya raya. Jepang dan Korea Selatan sebagai negara-negara industri maju kelas dunia, sudah mampu memberikan tingkat kemakmuran rakyat yang tinggi. Indeks korupsi dan indeks pembangunan manusia dari tiga negara Asia tersebut jika dibanding dengan Indonesia, ternyata kita ketinggalan, atau berposisi jauh lebih buruk. Tindak korupsi diJepang, Korea Selatan, Korea Utara, memang ada, tetapi kecil saja, sedangkan tindak korupsi di Indonesia, mulai dari anak SD sopir taksi, pedagang kaki lima, tukang bangunan, sampai professor, tentara polisi, PNS dan semua lapisan masyarakat, mengetahui bahwa ini negeri yang birokrasinya dihuni koruptor koruptor kelas teri kecil, sedang sampai kelas kakap besar. Kalau berbicara dari sisi birokrasi maka dengan sendirinya kita mengatakan tiga Negara Asia tersebut tindakan koruptif mereka jauh lebih kecil ketimbang tindak korupsi kita di sini. Sampai hari ini pejabat pemerintah (eksekutif), oknum penegak hukum (yudikatif), oknum wakil rakyat yang terhormat yang duduk sebagai anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota(legislatif) sudah tahunan lamanya tanpa bosan dan malu melakuan, bahkan terbiasa, sehingga perilaku korupsi diberi stigma sebagai “budaya” di negeri ini. Kalangan terpandang, para pemimpin formal tersebut bahkan sudah ada yang dipenjarakan, tetapi koruptor tetap saja bak “patah tumbuh hilang berganti”. Yang jadi tanda tanya besar bagi kita terkait dengan korupsi adalah entah kapan mereka merasa sudah kaya, lalu kapok, dan berhentik total korupsi. Bagi kita, tentu lebih cepat kapok/tobat korupsi, lebih baik bagi diri sendiri juga negeri dan bangsa ini agar dari mereka yang berada di luar lapangan hijau mendukung anak muda di lapangan hijau.
Mau tidak mau kita mengatakan birokrasi, penegak hukum, wakil rakyat, dari tiga negara Asia itu sudah lebih bersih, lebih bagus, lebih prima melayani masyarakat, ketimbang birokrasi kita yang masih belepotan kotor, sepertinya tidak mungkin melayani rakyatnya dengan baik. Akibatnya fasilitas olahraga sepak bola terbangun, rakyat suka main bola, dan birokrasi mendukung dengan berbagai cara. Birokrat menyadari sepak bola ternyata mengharumkan dan menjadikan negara bersangkutan berwibawa, terhormat di mata internasional.
Yang bermain bola adalah manusia, pemain bola yang berkualitas adalah SDM yang proses membangunnya bagus. Maka berbicara tentang pemain di lapangan hijau harus berbicara proses membangunan SDM dari luar lapangan hijau. Bagaimana dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sampai detik ini IPM kita tinggi, ini artinya kualitas pembangunan manusia kita masih rendah, ketimbang tiga negara Asia itu IPM nya lebih kecil, artinya kualitas pembangunan manusia mereka sudah lebih maju.
Sengaja data lama digunakan untuk melihat IPM Ghana yang kini main di Piala Afrika 2010. Tahun 1997 UNDP menetapkan IPM Ghana, sebuah negara di Benua Afrika dengan jumlah penduduk yang kecil, juga masih masuk katagori Low Human Development, tetapi 13 tahun kemudian Ghana masuk perdepalan final Piala Dunia 2010. Pemain sepak bola Ghana secara bergelombang merantau dan merumput dengan bangga karena dibeli klub-klub ternama di Eropa. Back Handal Jerman, Boateng, keturunan Ghana. Banyak pemain Ghana bermain di berbagai kesebelasan Eropa. Koq bisa begitu? Kita jarang mendengar rakyat Ghana emosional, dalam waktu tahunan terus-menerus baku pukul antarkelompok, ketersinggungan kecil main keroyokan antarsesama, lantaran soal remeh temeh memicu pertarungan massal. Ghana negeri miskin juga, kemiskinan Ghana hanya sedikit berbeda dengan Korea Utara, dua negara ini menduduki posisi terhormat dalam sepakbola dunia.
Mari kita menguliti sedikit saja isi perut negeri ginseng Korea Utara, seperti diketahui senantiasa siaga perang menghadapi saudaranya Korea Selatan. Korut sebagai bangsa Asia walaupun penduduknya masih banyak hidup dalam jeratan kemiskinan, bahkan jutaan rakyat makan jagung seperti kesukaan rakyat kita terutama orang kampung saya di Pulau Timor, termasuk di negara Timor Leste. Perlu diketahui IPM Korea Utara lebih baik ketimbang kita. Data lama sengaja saya tampilkan lagi di sini. Pada tahun 1997 menurut UNDP Indonesia dan Korea Utara IPM sama-sama masuk katagori Medium Human Development. Bagaimana kinerja birokrasi dan keamanan antarwarga di Korut. Karena rakyat dididik berdisiplin tinggi, kondisi rakyat yang masih miskin, kesiagaan menghadapi perang lawan Korsel yang bisa setiap saat meledak membentuk birokrasi Korut berkinerja bagus, tingkat korupsi lebih baik ketimbang RI. Walau pun miskin rakyatnya tetapi di Korea Utara jarang terdengar rakyat bikin kerusuhan akibat pilkada misalnya, kekerasan di dalam negeri skala kecil, jarang terdengar pertikaian dengan kekerasan fisik masyarakat yang dipicu oleh soal remeh temeh (batas kampung/desa, senggolan, rebutan pacar, rebutan lahan parkir, dan sebagainya, silahkan ditambah.
Bapak Presiden SBY ternyata banyak sisi kehidupan dalam negara dan bangsa ini seluruhnya terletak di luar lapangan hijau perlu kita tata dan bangun secara lebih baik agar sepak bola di lapangan hijau maju setara dengan negara lain yang sudah mengirim kesebelasanke Piala Dunia. Caranya, antara lain, para birokrat di semua level pasti mengerti, mereka harus berusaha mereduksi semua pemicu negatip yang ada dalam bangsa ini (faktor luar lapangan hijau) yang tidak bermanfaat dan merugikan hilang, bersih, baru kita membangun tim sepak bola di lapangan hijau yang gagah, kuat, dan yang mampu menghasilkan satu the winner team football pada posisi sebagai peserta Piala Dunia. Pekerjaan berat, tetapi bukan tidak mungkin.
Mari membangun negeri dengan gembira, senyum, tidak dihantui rasa khawatir diperas, ditangkap, dirampok, dibacok, jadi korban ledakan bom rakitan, dikeroyok massa...... Tapi gembira jangan diartikan dengan bergembira membawa 60 pejabat PSSI nonoton Piala Dunia di Afrika Selatan. Ha5x
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H